Indonesia Bisa Bebas dari Middle Income Trap Jika Jalankan Transformasi Birokrasi

Indonesia Bisa Bebas dari Middle Income Trap Jika Jalankan Transformasi Birokrasi

BEKABAR.ID, JAKARTA — Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI) resmi meluncurkan buku terbarunya berjudul Transformasi Birokrasi: Keluar dari Jebakan Middle Income Trap. Peluncuran buku ini dirangkai dengan diskusi publik yang digelar pada Kamis (10/7/2025) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat.

Acara tersebut menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain Pimpinan Ombudsman RI Hery Susanto, Deputi Bidang Kerja Sama Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM Tirta Nugraha Mursitama, Tim Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional Leo Herlambang, Presidium MN KAHMI Soetomo, serta Direktur Utama PT Antam Achmad Ardianto.

Sekjen MN KAHMI Syamsul Qomar menyampaikan bahwa KAHMI terpanggil untuk memberikan masukan bagi pemerintah, khususnya dalam memperbaiki tata kelola birokrasi dari pusat hingga daerah. Hal ini diharapkan mampu mendorong transformasi birokrasi di semua sektor pelayanan publik, sehingga Indonesia dapat terbebas dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap). Middle income trap adalah kondisi ketika suatu negara terjebak di level pendapatan menengah dan gagal beralih menjadi negara berpendapatan tinggi, sehingga pertumbuhan ekonomi melambat, pendapatan per kapita stagnan, dan standar hidup masyarakat tidak meningkat.

Hery Susanto, Pimpinan Ombudsman RI sekaligus salah satu kontributor buku, menjelaskan bahwa Transformasi Birokrasi Keluar dari Jebakan Middle Income Trap lahir dari rangkaian diskusi panjang dari seminar nasional yang sebelumnya diselenggarakan oleh MN KAHMI.

“Buku ini lahir dari seminar nasional yang digelar Majelis Nasional KAHMI. Banyak gagasan, data, dan analisis yang dihimpun dan dituangkan secara komprehensif sebagai sumbangsih pemikiran untuk mendorong transformasi birokrasi agar Indonesia mampu keluar dari jebakan middle income trap,” ujar Hery dalam paparannya.

Hery juga memperkenalkan konsep epta helix dalam buku tersebut, yaitu pengembangan dari pendekatan penta helix yang selama ini dikenal dalam sistem pelayanan publik.

“Dalam buku ini, saya memperkenalkan metode epta helix sebagai pengembangan dari konsep penta helix. Jika sebelumnya hanya lima unsur yang terlibat, kini ditambah dua elemen penting menjadi tujuh. Ketujuh unsur tersebut meliputi pemerintah pusat dan daerah, DPR/DPRD, kelompok bisnis, akademisi, pers, masyarakat, dengan Ombudsman RI sebagai simpul pengawas pelayanan publik,” jelasnya.

Hery menegaskan bahwa birokrasi memiliki peran yang sangat strategis sebagai ujung tombak sekaligus regulator yang harus hadir di semua lini kehidupan masyarakat.

“Birokrasi adalah ujung tombak sekaligus regulator. Ia harus hadir dan bekerja dalam penyelenggaraan pelayanan publik, mulai dari layanan paling sederhana hingga kebijakan strategis negara. Karena itu, kualitas kinerja birokrasi dalam pelayanan publik akan sangat menentukan keberhasilan pembangunan,” tegasnya.

Hery menambahkan bahwa birokrasi Indonesia juga harus mampu mendukung pencapaian Asta Cita Presiden RI, yakni delapan cita-cita pembangunan nasional. Pihaknya akan menindaklanjuti gagasan-gagasan dalam buku tersebut secara menyeluruh dan terintegrasi.

“Birokrasi kita harus mampu menjadi penggerak dalam mewujudkan Asta Cita dan menjadi rencana tindak lanjut secara holistik untuk transformasi birokrasi kita,” jelas Hery.

Achmad Ardianto Dirut Antam mengatakan Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kualitas pembangunan dan mencapai status negara maju. Salah satu tantangan utama adalah Middle income trap, yang memerlukan transformasi birokrasi untuk meningkatkan effisiensi dan efektivitas pemerintahan.

"Jebakan pendapatan menengah (middle income trap) terjadi ketika negara mampu meningkatkan pendapatan per kapita menjadi tingkat menengah, tetapi kemudian stagnan karena produktivitas lambat dan daya saing menurun," jelas Achmad Ardianto. Ia mengatakan buku ini mengeksplorasi bagaimana reformasi birokrasi dapat menjadi katalisator utama untuk keluar dari jebakan tersebut, melalui tata kelola yang lebih efektif, inovasi digital, partisipasi publik, dan orientasi pelayanan. 

"Perusahaan tambang yang hanya menambang dan menjual bahan mentah berisiko memperkuat jebakan middle income trap," terang Achmad Ardianto.

Achmad Ardianto menegaskan perusahaan seperti ANTAM—yang secara konsisten membangun hilirisasi, meningkatkan kualitas SDM dan inovasi, serta berkomitmen mengembangkan ekonomi lokal dan menjaga kelestarian lingkungan—bukan sekadar penggerak ekonomi, tetapi menjadi katalisator penting dalam transformasi Indonesia menuju negara maju yang berdaulat secara sumber daya, berkelanjutan secara lingkungan, dan inklusif secara sosial.

Presidium MN KAHMI sekaligus mewakili kalangan pengusaha, Soetomo, juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pengusaha dan birokrasi untuk mendukung transformasi ekonomi nasional.

“Pengusaha sangat berkepentingan dengan birokrasi yang bersih dan efisien. Kolaborasi yang sehat akan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif, menghapus birokrasi yang korup, mempermudah perizinan, hingga membuka lapangan kerja baru. Inilah kunci agar kita bisa lepas dari jebakan pendapatan menengah,” ujar Soetomo.

Sementara itu, Tim Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, Leo Herlambang, menekankan bahwa birokrasi harus mampu mendorong inovasi, investasi, dan meningkatkan daya saing global agar Indonesia tidak terjebak dalam status negara berpendapatan menengah.

“Target pemikiran kita jelas: birokrasi harus jadi motor penggerak yang mampu meningkatkan inovasi, memperkuat investasi, dan mendorong daya saing global. Dengan begitu, kita bisa terhindar dari jebakan pendapatan menengah dan melompat menjadi negara berpendapatan tinggi,” kata Leo.

Deputi Bidang Kerja Sama Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Tirta Nugraha Mursitama, menegaskan bahwa middle income trap adalah ancaman nyata bagi negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurutnya, birokrasi menjadi titik krusial yang bisa menjadi penghambat atau justru pendorong pertumbuhan.

“Middle income trap ini ancaman nyata bagi negara berkembang seperti Indonesia. Birokrasi di sini jadi titik paling krusial. Bisa jadi penghambat kalau lamban, tidak transparan, atau korup. Tapi sebaliknya, birokrasi juga bisa jadi pendorong utama pertumbuhan bila dijalankan dengan bersih, efisien, dan pro-investasi,” jelas Tirta.

Menutup diskusi, Hery menambahkan bahwa birokrasi Indonesia juga harus mampu mendukung pencapaian Asta Cita Presiden RI, yakni delapan cita-cita pembangunan nasional. Pihaknya akan menindaklanjuti gagasan-gagasan dalam buku tersebut secara menyeluruh dan terintegrasi.

“Birokrasi kita harus mampu menjadi penggerak dalam mewujudkan Asta Cita dan menjadi rencana tindak lanjut secara holistik untuk transformasi birokrasi kita,” pungkas Hery. (*)