Oleh:
Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd
(Guru Besar UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi)
A. Kedaulatan Digital
Kedaulatan digital muncul sebagai isu strategis global dalam dua dekade terakhir, terutama di tengah rivalitas dua kekuatan besar dunia: China dan Amerika Serikat. Istilah ini merujuk pada kemampuan negara untuk mengatur arus data, infrastruktur digital, informasi, hingga algoritma dalam batas yurisdiksinya (Zhao, 2021). Dalam lanskap geopolitik modern, penguasaan teknologi bukan lagi sekadar faktor ekonomi, tetapi juga sumber kekuatan politik dan keamanan nasional.
China dan AS kini mengembangkan dua model kedaulatan digital yang saling bersaing. China menekankan kontrol negara yang kuat atas ruang digital, sedangkan AS menonjolkan keterbukaan, kebebasan berekspresi, serta peran dominan perusahaan teknologi. Perbedaan ini menimbulkan fragmentasi digital global dan mempengaruhi banyak negara dalam menentukan arah kebijakan teknologinya.
B. Landasan Konseptual Kedaulatan Digital
Secara teoretis, kedaulatan digital merupakan perluasan konsep kedaulatan negara klasik ke dalam ruang maya. Negara dianggap memiliki hak untuk mengatur data, server, platform, hingga lalu lintas informasi yang beredar dalam wilayahnya (Creemers, 2022).
Dari perspektif demokrasi digital, West (2021) menyebut bahwa kedaulatan digital harus mencakup perlindungan terhadap penyalahgunaan data oleh negara maupun korporasi. Sementara itu, literatur hubungan internasional memandang kedaulatan digital sebagai arsitektur kekuasaan baru yang menentukan legitimasi politik dan daya saing ekonomi global. Dengan demikian, kedaulatan digital bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga ideologi, keamanan, dan geopolitik.
Model China: Kontrol Terpusat dan Keamanan Nasional
China mengembangkan model kedaulatan digital yang sangat terpusat, menempatkan negara sebagai aktor dominan dalam mengontrol teknologi informasi. Model ini dapat dipahami melalui tiga pilar utama.
1. Regulasi dan Sentralisasi Data
China menerapkan regulasi yang ketat melalui Cybersecurity Law (2017), Data Security Law (2021), dan Personal Information Protection Law (2021). Negara memegang otoritas atas pengelolaan data strategis dan pergerakan data lintas batas (Laskai, 2021).
2. Great Firewall dan Pengendalian Informasi
China menciptakan tembok digital yang membatasi akses terhadap platform digital global seperti Google, Facebook, atau YouTube. Ekosistem digital domestik seperti WeChat, Weibo, dan TikTok tumbuh sebagai alternatif yang terintegrasi dengan pengawasan negara (Ding, 2020).
3. Strategi Teknologi Nasional
Melalui Made in China 2025 dan strategi AI 2030, China berupaya menciptakan swasembada teknologi sekaligus memimpin standar digital global (Wang, 2023).
Model China menekankan keamanan nasional, stabilitas sosial, dan kemandirian teknologi sebagai fondasi utama kedaulatan digital.
Model Amerika Serikat: Pasar Terbuka dan Dominasi Korporasi Teknologi
Berbeda dari China, model kedaulatn digital AS berlandaskan ekonomi pasar, kebebasan informasi, dan inovasi yang dipimpin sektor swasta.
1. Market-Driven Digital Governance
AS menyerahkan sebagian besar ruang digital kepada perusahaan teknologi besar seperti Google, Meta, Microsoft, Amazon, dan Apple. Pemerintah berperan melalui kebijakan persaingan dan privasi, bukan kontrol langsung (Kerry, 2022).
2. Prinsip Kebebasan Informasi
AS mengusung nilai open internet yang dipercaya mendorong inovasi dan demokrasi global. Pendekatan ini menolak fragmentasi internet dan menekankan keterhubungan universal (Carpenter, 2022).
3. Dominasi Teknologi sebagai Soft Power
Perusahaan AS memegang peran penting dalam membentuk standar teknologi internasional, ekosistem data global, hingga narasi geopolitik digital (Segal, 2021).
Model AS menawarkan kebebasan dan inovasi, namun dikritik karena minimnya kontrol terhadap monopoli teknologi dan risiko privasi data.
E. Implikasi Geopolitik dan Masa Depan Tata Kelola Global
Pertarungan antara model China dan AS melahirkan fenomena splinternet, yaitu terpecahnya internet global menjadi beberapa blok dengan standar dan aturan berbeda (Bradford, 2020). Di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin, banyak negara terjebak dalam dilema memilih antara efisiensi infrastruktur China atau keterbukaan sistem digital AS.
Kurlantzick (2023) menyebut bahwa dunia sedang bergerak menuju multipolarisasi digital, di mana negara-negara tidak lagi mengikuti satu model tunggal. Negara seperti Indonesia mulai mengadopsi pendekatan hybrid: melindungi data strategis untuk kepentingan nasional, namun tetap membuka ruang bagi inovasi dan investasi global.
Ke depan, tata kelola digital global akan dipengaruhi oleh persaingan standar teknologi (AI, 5G, cloud), kebijakan privasi lintas negara, serta posisi negara-negara berkembang dalam percaturan geopolitik teknologi.
F. Penutup
Kedaulatan digital telah menjadi medan persaingan strategis antara dua kekuatan global yang memengaruhi arah perkembangan teknologi dunia. Model China yang berorientasi pada kontrol negara dan keamanan nasional berhadapan langsung dengan model Amerika Serikat yang berbasis pada kebebasan internet dan dominasi perusahaan teknologi. Rivalitas ini tidak hanya menciptakan fragmentasi digital, tetapi juga memaksa negara-negara lain menentukan posisi dalam ekosistem digital yang semakin kompleks.
Di tengah dinamika tersebut, pendekatan hybrid menjadi pilihan realistis bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Kombinasi perlindungan data, kemandirian digital, serta keterbukaan inovasi diperlukan agar negara tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga bagian dari arsitek peradaban digital global. Dengan merumuskan kebijakan digital yang adaptif, inklusif, dan berdaya saing, bangsa-bangsa dapat memastikan kedaulatan digital yang berkelanjutan dan relevan dalam perkembangan teknologi yang terus berubah.
Referensi:
1. Bradford, A. (2020). The Brussels Effect: How the EU Rules the World. Oxford University Press.
2. Carpenter, T. (2022). Digital Freedom and the Future of the Open Internet. Brookings Institution Press.
3. Creemers, R. (2022). China’s Cyber Governance: State Control and Digital Strategy. Cambridge University Press.
4. Ding, J. (2020). Decoding China’s AI Strategy. Oxford Policy Papers.
5. Kerry, C. (2022). The New Politics of Data Regulation in the United States. Brookings Press.
6. Kurlantzick, J. (2023). Beijing’s Global Media Influence. Council on Foreign Relations.
7. Laskai, L. (2021). The Data Governance Model in China. Harvard Kennedy School Papers.
8. Segal, A. (2021). The Hacked World Order: Cyber Conflict and Geopolitics. PublicAffairs.
9. Wang, Y. (2023). AI, Power, and China’s Technological Rise. Routledge.
10. West, D. (2021). Data, Democracy, and Digital Sovereignty. Brookings Institution Press.

