Oleh:
Heru Kurniawan
Aktivis Muhammadiyah Jambi
Universitas Muhammadiyah Jambi (UM Jambi) adalah salah satu pilar pendidikan tinggi Islam di Sumatera. Namun, dalam dua tahun terakhir, perjalanan kampus ini diwarnai keresahan. Banyak pihak menilai, gaya kepemimpinan rektor justru semakin menunjukkan arogansi kekuasaan ketimbang membangun tata kelola yang sehat.
1. Keputusan Sepihak Tanpa Musyawarah
Rektor berulang kali mengangkat dan memberhentikan pejabat struktural tanpa mekanisme rapat bersama senat maupun Badan Pembina Harian (BPH). Begitu pula dengan pengangkatan dekan yang dilakukan tanpa pemilihan sesuai aturan perguruan tinggi. Ini mencederai prinsip kolektif-kolegial yang seharusnya dijunjung tinggi di lingkungan akademik.
2. Pendirian Prodi Tanpa Kesiapan
Langkah membuka program studi baru seperti Anestesi dan Perencanaan Wilayah Kota sebenarnya strategis. Namun, minimnya sarana dan prasarana membuat prodi tersebut tidak berkembang. Mahasiswa yang masuk pun sedikit, sehingga prodi hanya menjadi simbol tanpa kekuatan akademik yang nyata.
3. RAB Tanpa Mekanisme BPH
Rencana Anggaran dan Pendapatan (RAB) kampus periode 2023–2024 dilegalkan tanpa tanda tangan Ketua BPH, melainkan langsung disahkan PP Muhammadiyah. Praktik ini menimbulkan pertanyaan besar soal akuntabilitas dan peran BPH.
4. Pemberhentian Tendik Tanpa Teguran
Beberapa tenaga kependidikan diberhentikan tanpa surat teguran. Langkah sepihak ini menunjukkan pola kepemimpinan yang mengabaikan prosedur dan etika kelembagaan.
5. Tidak Ada Rapat Periodik dan Transparansi Data
Rektor jarang mengadakan rapat periodik dengan pimpinan struktural, sehingga banyak keputusan berjalan tanpa koordinasi. Bahkan jumlah mahasiswa baru dan jumlah mahasiswa riil pun tidak pernah dipublikasikan dengan jelas.
6. Lemah dalam Komunikasi dan Kepemimpinan
Dosen dan tendik mengeluhkan komunikasi yang buruk dari rektor. Banyak miskomunikasi terjadi, dan kondisi ini diperparah dengan jarangnya rektor hadir di kampus karena alasan studi S3 serta seringnya dinas luar daerah.
7. Ketua BPH dan Warek Penuh Kepentingan
Pemilihan Ketua BPH dari pusat menimbulkan kesan lebih untuk kepentingan pribadi rektor. Sementara itu, wakil rektor dipilih bukan berdasarkan profesionalisme, melainkan kedekatan politik dan kepentingan:
• Warek I: gagal mengatasi masalah kenaikan pangkat dosen dan updating data mahasiswa.
• Warek II: minim kemampuan komunikasi dengan stakeholders, keputusan banyak diambil kabiro keuangan.
• Warek III: dipilih dengan perjanjian politik terkait dukungan dari pihak keluarga yang duduk di legislatif.
Arogansi Mengancam Masa Depan
Potret ini memperlihatkan bagaimana arogansi seorang rektor bisa melemahkan institusi. Universitas seharusnya menjadi ruang demokrasi akademik, bukan ladang kepentingan pribadi. Jika tata kelola seperti ini terus berlangsung, UM Jambi bukan hanya kehilangan kepercayaan publik, tetapi juga masa depan generasi yang dididiknya.