Adu Mekanik di Ruang Anggaran, ASN vs DPRD Tanjab Barat Berebut Saling Potong Anggaran

Adu Mekanik di Ruang Anggaran, ASN vs DPRD Tanjab Barat Berebut Saling Potong Anggaran

BEKABAR.ID, TANJABBARAT - Ruang rapat anggaran di Tanjung Jabung Barat seolah berubah menjadi arena adu mekanik. Bukan duel kendaraan, tapi duel argumentasi antara para wakil rakyat dan barisan Aparatur Sipil Negara (ASN). Keduanya berhadapan dalam satu isu yang sama panasnya, pemotongan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP).

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tanjab Barat mengawali manuver. Mereka mengusulkan agar TPP ASN yang nilainya menembus lebih dari Rp 212 miliar per tahun dipangkas dan dialihkan untuk pembangunan daerah. Di atas kertas, usulan itu terdengar heroik mengingat efisiensi demi kemajuan. Tapi di lapangan, bunyinya jauh lebih keras.

“Kalau mau bicara pengorbanan, jangan setengah hati,” kata seorang ASN senior yang menolak disebut namanya. 

“Jangan hanya kami yang dikorbankan. Kalau mau susah, mari kita susah bersama," tambahnya 

Nada suaranya menggambarkan ketegangan yang merata di kalangan birokrat. Mereka merasa menjadi tumbal kebijakan populis yang belum tentu menyentuh akar masalah. Beberapa ASN bahkan mulai melancarkan argumen balik, menyeret fasilitas DPRD ke meja sorotan.

“Kenapa cuma TPP yang dipotong? Tunjangan komunikasi, rumah dinas, dana reses, semua juga harus dievaluasi. Jangan pilih-pilih,” tambah seorang ASN lainnya.

Dari sisi dewan, reaksi pun tak kalah tegas. Sejumlah anggota DPRD menilai ASN terlalu reaktif. Menurut mereka, struktur belanja pegawai memang sudah terlalu gemuk, membebani ruang fiskal daerah.

“Ini bukan soal menyerang ASN. Ini soal keberanian merasionalisasi anggaran,” ujar salah satu legislator, menegaskan posisi dewan. “Kalau semua anggaran habis untuk TPP, bagaimana pembangunan mau bergerak?” celutuk dia.

Adu argumen itu berlanjut dalam rapat-rapat tertutup. Para anggota dewan membawa data belanja rutin yang menanjak tajam, sementara ASN meng-counter dengan angka kebutuhan dasar pelayanan publik yang tak bisa dipangkas begitu saja.

Setiap pihak datang dengan dokumen, tabel, dan retorika moralnya sendiri. Hasilnya, ruang sidang berubah jadi gelanggang dua kekuatan birokrasi, yang satu mengklaim berpihak pada rakyat, yang lain mengaku mempertahankan hak kerja mereka. Masing-masing merasa benar, masing-masing merasa dikorbankan.

Pertarungan ini lebih dari sekadar soal TPP. Ia memperlihatkan bagaimana ketegangan klasik antara teknokrat dan politisi kembali muncul di daerah, antara mereka yang mengatur administrasi dan mereka yang mengatur arah.

Sementara itu, bola panas anggaran terus bergulir. Tak ada yang mau mengalah. DPRD bicara efisiensi, ASN bicara keadilan. Di tengahnya, pembangunan menunggu, terjebak dalam adu mekanik tanpa ujung antara dua mesin pemerintahan yang semestinya saling melengkapi.

Editor: Sebri Asdian