Oleh:
Fadhil Ikhsan Mahendra
Memimpin, dalam segala keindahannya, adalah sebuah panggilan
yang mengemban beban berat yang tak terbantahkan. "Leiden is ijden"
atau "Menderita adalah memimpin" menjadi ungkapan yang melukiskan
pahit getirnya peran seorang pemimpin.
Memimpin bukanlah sekadar mengemban kekuasaan, melainkan
bertindak sebagai pionir dalam medan pertempuran kehidupan yang penuh dengan
kesulitan dan tantangan. Kehadiran seorang pemimpin tidaklah tanpa syarat, ia
harus bersedia merasakan penderitaan sebagai bagian tak terpisahkan dari
tugasnya.
Setiap langkah yang diambil oleh seorang pemimpin dipengaruhi
oleh beragam faktor, mulai dari peraturan yang mengikat, dukungan sumber daya
manusia, hingga kondisi lingkungan, budaya, dan sosial. Dalam perjalanan
kepemimpinannya, ia akan menemui jalan yang berliku dan terkadang terjal,
seperti puitis diungkapkan oleh kutipan yang menyatakan bahwa di bawah pemimpin
yang kompeten, bahkan anggota yang tidak berdaya memiliki nilai, sementara di
bawah pemimpin yang tidak kompeten, anggota yang berkualitas pun kehilangan
arah alias kocar-kacir.
Abraham Maslow dalam bukunya “A Theory of Human Motivation”
menjelaskan sebuah teori psikologi yang dikenal sebagai Hierarki Kebutuhan
Maslow atau yang sering dikenal sebagai Piramida Maslow.
Dalam teorinya Maslow mencoba menjelaskan bahwa
kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah harus terpenuhi atau paling tidak cukup
terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih tinggi
dapat terpenuhi.
Kebutuhan-kebutuhan itu seperti kebutuhan akan makanan,
minuman, tempat berteduh, tidur dan oksigen (sandang, pangan, papan).
Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, kebutuhan selanjutnya yang
harus terpenuhi ialah kebutuhan akan rasa aman (safety/security needs),
Kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang (social needs), kebutuhan akan
penghargaan (esteem needs) dan kebutuhan akan aktualisasi diri
(self-actualization needs).
Mengemban mandat dari rakyat adalah suatu amanah yang tak
terpisahkan dari peran seorang pemimpin. Ia harus menginternalisasi konsep suci
ini sebagai dasar utama dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.
Menjadi pemimpin adalah memilih untuk menanggung beban
menderita, baik secara fisik maupun emosional yang harus diterima. Ia harus
siap menerima segala bentuk pendapat, baik yang membangun maupun yang
menyakitkan, sebagai bagian dari perjalanan kepemimpinannya.