Oleh:
Syrillus Krisdianto*
Pada hari sabtu, 3 September 2022 Pemerintah resmi menaikkan
Bahan Bakar Minyak (BBM) dari BBM bersubsidi seperti pertalite dan solar,
maupun BBM non-subsidi seperti pertamax. Berbicara BBM ini tentu menjadi suatu
hal yang sangat dilematis bagi kita, terutama BBM sangat menunjang kebutuhan
masyarakat Indonesia seperti bekerja, mengantar anak sekolah serta kuliah.
Dilansir dari CNN Indonesia, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi,
Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa “Mungkin pada periode tertentu akan
menjadi painful untuk kita, ada sakit buat kita. Tapi saya kira setelah
beberapa bulan tidak ada masalah. Asal kita kompak”
Tentu kita masyarakat Indonesia sangat kecewa dengan hal ini.
Namun dibalik rasa kecewa mari kita kaji bersama rincian
kenaikan BBM, berikut ini rincian tarif lama dan tarif baru BBM bersubsidi dan
BBM non-subsidi :
• Pertalite (subsidi) dari Rp. 7.600/liter menjadi Rp.
10.000/liter
• Solar (subsidi) dari Rp. 5.100/liter menjadi Rp.
6.800/liter
• Pertamax (non-subsidi) dari Rp. 12.500/liter menjadi Rp.
14.500/liter
Pemerintah memang tidak main-main dalam menaikkan BBM, jika
kita lihat rincian diatas selisih harga dari sebelum dinaikkan dan sesudah
dinaikkan lumayan besar. Terlepas dari hal tersebut, tentu kita juga
bertanya-tanya apa dampak dari kenaikkan tersebut, berikut ini kita bahas
dampak yang akan ditimbulkan.
• Tarif biaya transportasi umum akan mengalami kenaikan
tarif, seperti ojek online, taksi online, bus, angkot dan transportasi umum
lainnya.
• Biaya logistik barang akan mengalami kenaikan tarif,
seperti jasa ekspedisi dan jasa kargo.
• Terjadinya inflasi, yaitu naiknya berbagai harga barang
yang diperlukan masyarakat, seperti sembako, pangan, sandang, papan.
• Karena inflasi, tentu daya beli masyarakat akan menurun.
• Kemungkinan naiknya angka kemiskinan
Menimbang hal tersebut, tentu pemerintah memiliki solusi,
seperti memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM yakni sebesar Rp. 150.000,
yang dimana bantuan tersebut diberikan selama 4 (empat) bulan terhitung sejak
September 2022, sehingga jumlah bantuan tersebut sebesar Rp. 600.000/penerima.
Dalam hal ini, pemerintah menyiapkan anggaran Rp. 12,4 triliun, yang akan
disalurkan kepada 20,65 juta penerima. Lalu pemerintah juga memberikan Bantuan
Subsidi Upah (BSU) sebesar Rp. 600.000, bantuan ini akan diberikan kepada
pekerja yang memiliki gaji maksimal Rp. 3,5 juta/bulan. Pemerintah menyiapkan
anggaran sebesar Rp. 9,6 triliun, dana ini akan disalurkan kepada 16 juta
pekerja. Yang terakhir pemerintah memberikan bantuan angkutan umum, target
bantuan ini diberikan kepada angkutan umum, ojek, dan nelayan.
Pada bantuan ini, akan dialokasikan Pemerintah Daerah dengan
memanfaatkan 2% dana transfer umum sebesar Rp. 2,17 triliun.
Tentu dalam hal ini kita bertanya-tanya apakah solusi
pemerintah ini tepat atau tidak, apakah pemerintah tidak punya langkah lain
dalam menanggapi permasalahan BBM di Indonesia? Menurut saya bukan langkah yang
tepat menaikkan harga BBM, karena permasalahan krusialnya bukanlah soal
anggaran subsidi BBM yang membengkak sebesar Rp. 502,4 triliun, melainkan
penyaluran subsidi yang tidak tepat sasaran.
Seharusnya pemerintah lebih mengencangkan regulasi mengenai
subsidi BBM, pihak mana saja yang boleh memakai BBM bersubsidi, serta
pemerintah harusnya melakukan riset lebih dalam mengenai BBM bersubsidi ini
penggunaannya sudah tepat sasaran atau belum.
Terlebih saat ini perekonomian Indonesia mulai pulih dan daya
beli masyarakat yang mulai membaik pasca pandemi covid-19 yang dimana hal ini
menjadi alasan kuat tidak seharusnya BBM mengalami kenaikan tarif. Karena
kenaikkan BBM ditakutkan akan membuat perekonomian Indonesia mengalami
penurunan dan terjadinya inflasi.
* Mahasiswa
Ilmu Politik Universitas Jambi