Menyoal Polemik Terhadap SK yang di Keluarkan Bupati Tanjab Barat Terdahulu

Menyoal Polemik Terhadap SK yang di Keluarkan Bupati Tanjab Barat Terdahulu

Oleh: Ilham Singgih Prakoso, S.H*

Surat keputusan yang dikeluarkan oleh Bupati Tanjab Barat terdahulu terkait pemberhentian kepala bagian pengadaan barang/jasa Setda Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan juga pemberhentian kepala subbagian pengelolaan pengadaan barang/jasa bagian pengadaan barang/jasa Setda Kabupaten Tanjung Jabung Barat berbuntut panjang dengan dikeluarkanya surat Gubernur dengan nomor: S-5/4 BKD-3.3/II/2021 yang pada intinya bahwa pemberhentian pegawai negeri sipil dalam jabatan administrator dan pengawas dilingkungan pemerintahan Kabupatan Tanjung Jabung Barat terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mentri Dalam Negeri.

Perosalan ini kemudian menjadi bahan diskusi di beberapa warung kopi oleh kalangan aktivis, mahasiswa, pemuda dan para politisi. Begitupan  juga saya tidak ketinggal untuk melihat keputusan tersebut dari kacamata hukum sehingga kita dapat melihat titik terang persoalan ini.

Harus disadari bahwa negara Indonesai adalah negara hukum hal itu dapat dilihat dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 bahwa negara Indonesai adalah negara hukum. konsekuensi dari negara hukum adalah segala tindakan  yang dilakukan oleh pejabat negara, masyarakat harus berdasarkan atas hukum. hukum hadir untuk melindungi dari tindakan kesewenang-wenangan terutama oleh kekuasaan. Oleh karena itu hukum hadir untuk memberikan batasan-batasan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dalam bahasa hukum administrasi disebut dengan istilah kewenangan dan wewenang.

Berangakat dari pemikiran negara hukum diatas maka berjalannya roda pemerintahan harus senada dengan hukum yang sudah ada dalam hal ini adalah hukum tertulis yang dibuat oleh lembaga yang berwenang, begitu juga dengan keputusan yang dikeluarkan oleh bupati terdahulu harus berdasarkan hukum. 

Jika merujuk pada UU No 5 Thn 1986 Tentang Pradilan Tata Usaha Negara pasal 3 Jo pasal 9 UU No 51 Thn 2009 Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Unsur dari dari ketentuan tersebut bersifat komulatif artinya ia dapat disebut sebagai keputusan tata usaha negara apabila semua unsur terpenuhi. 

Selain itu dalam UU No 30 Thn 2014 tentang Administrasi Pemerintah dalam pasal 52 ayat 1 sarat sah keputusan meliputi : a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang b. dibuat sesuai prosedur dan c. subtansi sesuai dengan objek keputusan, di pasal 2 sahnya keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB. 

Jika merujuk pada surat yang dikeluarkan oleh gubernur dengan nomor: S-5/4 BKD-3.3/II/2021 maka secara prosedural ada unsur yang belum terpenuhi yaitu adanya persetujuan tertulis, karena keputusan ini dibuat pasca pemilihan kepala daerah sehingga harus ada persetujuan tertulis dari Kementrian Dalam Negeri sesuai dengan surat edaran Mentri Dalam Negeri. Dengan demikian maka keputusan yang dikeluarkan oleh bupati tidak memenuhi unsur final karena belum mendapat persetujuan tertulis berdasarkan surat dari gubernur tersebut. Sedangakan keputusan tata usaha negara itu bersifat kongkrit, individual, dan final. Final diartikan dalam penjelasan UU No 30 Thn 2014 pasal 87 Yang dimaksud dengan “final dalam arti luas” mencakup Keputusan yang diambil alih oleh atasan pejabat yang berwenang. Sedangkan Kementrian Dalam Negeri memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan tertulis dalam keputusan tersebut. maka dapat dikatakan keputusan itu belum final. Belum final tidak dapat disebut sebagai keputusan tata usaha negara. Oleh karenaitulah sebenarnya keputusan itu tidak sah, atau batal demi hukum. konsekuensinya sejak keputusan itu ditetapkan maka tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

*Penulis merupakan pemerhati Hukum, Kelapa Bidang Kajian Advokasi serta Jaringan HMMH Unuversitas Islam Indonesia