BEKABAR.ID, JAMBI - Universitas Muhammadiyah (UM) Jambi kian menghadapi situasi genting. Kampus yang pernah menjadi salah satu kebanggaan di Provinsi Jambi ini kini justru diguncang oleh realitas pahit, jumlah mahasiswa terus menyusut tajam dari tahun ke tahun. Data terbaru yang berhasil dihimpun bekabar.id menunjukkan pada tahun akademik 2025, angka mahasiswa terjun bebas hanya menyisakan 415 orang di semester ganjil.
Padahal, pada semester ganjil 2023 UM Jambi masih memiliki 2.347 mahasiswa, dan pada semester genap tahun yang sama sedikit menurun menjadi 2.307 mahasiswa. Namun, tren penurunan semakin menjadi-jadi di tahun 2024. Memang pada semester ganjil 2024 jumlah mahasiswa sempat tercatat 2.365 orang, tapi hanya berselang satu semester kemudian, jumlah itu ambruk hingga tinggal 1.116 mahasiswa.
Puncaknya, tahun 2025 menjadi catatan paling kelam dalam sejarah UM Jambi. Dari semester ganjil yang sedang berjalan, total mahasiswa yang aktif hanya 415 orang, dengan beberapa program studi bahkan nihil mahasiswa. Program Studi Ekonomi Pembangunan jenjang S2, yang sebelumnya masih mencatat mahasiswa, kini kosong. Begitu juga dengan Program Studi Hukum Bisnis (S1) dan Keperawatan Anestesiologi (D4), yang sejak 2023 hingga 2025 tak memiliki satupun mahasiswa.
Rincian terbaru menunjukkan jurusan yang masih bertahan pun mengalami penyusutan besar-besaran, yakni Ekonomi Pembangunan (S1) hanya 123 orang, Informatika 40 orang, Kehutanan 34 orang, Manajemen 168 orang, dan Sistem Informasi 50 orang. Sementara Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota kembali stagnan tanpa mahasiswa.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan serius tentang keberlangsungan UM Jambi sebagai institusi pendidikan tinggi kebanggaan warga Muhammadiyah dan masyarakat Jambi.
Ketua Bidang Hikmah DPD IMM Jambi Danil Febriandi menilai, jika tren ini terus dibiarkan, UM Jambi bisa menghadapi skenario terburuk, kolaps, bahkan bisa kehilangan status sebagai universitas.
"Apalagi, persaingan perguruan tinggi di Jambi semakin ketat, dengan hadirnya kampus-kampus baru yang lebih adaptif terhadap kebutuhan zaman," ujarnya, Rabu (24/09/25).
Jika benar penurunan tajam jumlah mahasiswa di UM Jambi terjun bebas seperti itu, kata Danil, dia berpendapat bahwa ada faktor krisis kepercayaan terhadap mutu, tata kelola, hingga relevansi program studi yang ditawarkan.
“Penurunan jumlah mahasiswa secara drastis dari ribuan menjadi hanya ratusan dalam kurun waktu dua tahun adalah sinyal bahaya. Ini bukan lagi persoalan kecil, tapi soal tata kelola kampus yang lemah, strategi rekrutmen mahasiswa yang gagal, dan minimnya inovasi akademik. Warga sudah kehilangan kepercayaan,” tegasnya.
Aktivis yang vocal terhadap pembangunan Provinsi Jambi ini menyebutkan, UM Jambi seharusnya bisa bertahan sebagai salah satu kampus swasta besar di Jambi, apalagi dengan nama besar Muhammadiyah di belakangnya. Namun realitas menunjukkan hal sebaliknya.
“Bayangkan saja, ada program studi yang sejak 2023 sampai 2025 sama sekali tidak memiliki mahasiswa. Ini memalukan, artinya program studi itu hanya ada di atas kertas. Kalau dibiarkan, UM Jambi bisa tinggal sejarah,” ujarnya.
Ia juga mengkritik lemahnya respons pimpinan kampus. “Seharusnya manajemen universitas bergerak cepat, memperbaiki kurikulum, memperkuat promosi, dan menjalin kerja sama dengan industri. Tapi yang terlihat justru stagnasi, pencitraan pimpinan, seakan tidak ada sense of crisis. Kalau begini terus, tak heran mahasiswa kabur dan memilih kampus lain,” pungkas Danil.
Sebelumnya, kampus ini juga sempat dikritik oleh Aktivis Muhammadiyah Heru Kurniawan. Dalam opini yang berjudul Arogansi Kepemimpinan Rektor UM Jambi dan Ancaman Masa Depan Kampus, Heru menuding dalam dua tahun terakhir, perjalanan kampus UM Jambi diwarnai keresahan karena gaya kepemimpinan rektor semakin menunjukkan arogansi kekuasaan ketimbang membangun tata kelola yang sehat.
1. Keputusan Sepihak Tanpa Musyawarah
Rektor berulang kali mengangkat dan memberhentikan pejabat struktural tanpa mekanisme rapat bersama senat maupun Badan Pembina Harian (BPH). Begitu pula dengan pengangkatan dekan yang dilakukan tanpa pemilihan sesuai aturan perguruan tinggi. Ini mencederai prinsip kolektif-kolegial yang seharusnya dijunjung tinggi di lingkungan akademik.
2. Pendirian Prodi Tanpa Kesiapan
Langkah membuka program studi baru seperti Anestesi dan Perencanaan Wilayah Kota sebenarnya strategis. Namun, minimnya sarana dan prasarana membuat prodi tersebut tidak berkembang. Mahasiswa yang masuk pun sedikit, sehingga prodi hanya menjadi simbol tanpa kekuatan akademik yang nyata.
3. RAB Tanpa Mekanisme BPH
Rencana Anggaran dan Pendapatan (RAB) kampus periode 2023–2024 dilegalkan tanpa tanda tangan Ketua BPH, melainkan langsung disahkan PP Muhammadiyah pusat. Praktik ini menimbulkan pertanyaan besar soal akuntabilitas dan peran BPH di tingkat lokal.
4. Pemberhentian Tendik Tanpa Teguran
Beberapa tenaga kependidikan diberhentikan tanpa surat teguran. Langkah sepihak ini menunjukkan pola kepemimpinan yang mengabaikan prosedur dan etika kelembagaan.
5. Tidak Ada Rapat Periodik dan Transparansi Data
Rektor jarang mengadakan rapat periodik dengan pimpinan struktural, sehingga banyak keputusan berjalan tanpa koordinasi. Bahkan jumlah mahasiswa baru dan jumlah mahasiswa riil pun tidak pernah dipublikasikan dengan jelas.
6. Lemah dalam Komunikasi dan Kepemimpinan
Dosen dan tendik mengeluhkan komunikasi yang buruk dari rektor. Banyak miskomunikasi terjadi, dan kondisi ini diperparah dengan jarangnya rektor hadir di kampus karena alasan studi S3 serta seringnya dinas luar daerah.
7. Ketua BPH dan Warek Penuh Kepentingan
Pemilihan Ketua BPH dari pusat menimbulkan kesan lebih untuk kepentingan pribadi rektor. Sementara itu, wakil rektor dipilih bukan berdasarkan profesionalisme, melainkan kedekatan politik dan kepentingan:
• Warek I: gagal mengatasi masalah kenaikan pangkat dosen dan updating data mahasiswa.
• Warek II: minim kemampuan komunikasi dengan stakeholders, keputusan banyak diambil kabiro keuangan.
• Warek III: dipilih dengan perjanjian politik terkait dukungan dari pihak keluarga yang duduk di legislatif.
Penutup: Arogansi Mengancam Masa Depan
Potret ini memperlihatkan bagaimana arogansi seorang rektor bisa melemahkan institusi. Universitas seharusnya menjadi ruang demokrasi akademik, bukan ladang kepentingan pribadi. Jika tata kelola seperti ini terus berlangsung, UM Jambi bukan hanya kehilangan kepercayaan publik, tetapi juga masa depan generasi yang dididiknya.
Editor: Sebri Asdian