Melestarikan Adat Koto Majidin: Merajut Harmoni antara Nilai Luhur dan Syariat

Melestarikan Adat Koto Majidin: Merajut Harmoni antara Nilai Luhur dan Syariat

Oleh:

Dr. Fauzan Khairazi, MH

Di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi yang mengikis identitas lokal, masyarakat Desa Koto Majidin, Kecamatan Air Hangat, patut berbangga. Mereka masih teguh memegang teguh warisan leluhur: adat istiadat yang menjadi panduan hidup bermasyarakat. Namun, kebanggaan ini harus disertai dengan kesadaran kolektif untuk senantiasa membersihkan dan menyelaraskan adat tersebut dengan sumber hukum tertinggi umat Islam, Al-Qur'an.

Falsafah "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah" (ABS-SBK) yang diusung bukanlah sekadar hiasan kata dalam setiap pembukaan acara adat. Ia adalah jiwa yang harus menghidupi setiap butir ketentuan, setiap musyawarah, dan setiap penyelesaian sengketa di desa ini. Prinsip ini menempatkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai konstitusi tertinggi, sementara adat berperan sebagai peraturan turunan dan tata nilai kultural yang mengakar.

Dalam praktiknya di Koto Majidin, prinsip mulia ini diuji. Mulai dari penyelenggaraan alek nagari, prosesi pernikahan, hingga pembagian harta pusaka. Apakah semua yang diwariskan nenek moyang sudah sepenuhnya sejalan dengan syariat? Di sinilah peran para Niniak Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai menjadi krusial. Mereka harus duduk bersama, bukan dalam posisi yang berhadap-hadapan, tetapi saling melengkapi. Para pemangku adat membawa kearifan lokal, sementara ulama membawa cahaya ilmu untuk menyaringnya.

Kita menyaksikan, di beberapa daerah, adat bisa menjadi beban ketika ia kaku dan menolak untuk ditinjau ulang. Sebaliknya, pemahaman agama yang sempit juga bisa meminggirkan kearifan lokal yang justru mengandung nilai-nilai universal. Koto Majidin memiliki peluang emas untuk menjadi contoh. Sebuah desa dimana "Kato Pusako" tidak berbenturan dengan "Kato Allah", tetapi justru saling menguatkan. Sebuah komunitas dimana musyawarah mufakat untuk kebaikan bersama adalah cerminan dari perintah Allah untuk bermusyawarah.

Oleh karena itu, kami mendorong beberapa hal:

1. Institusionalisasi Dialog: Perlu dibentuk forum tetap antara lembaga adat dan lembaga keagamaan di Koto Majidin untuk melakukan penyesuaian (review) secara berkala terhadap aturan-aturan adat yang masih dipraktikkan.

2. Pendidikan bagi Generasi Muda: Nilai-nilai ABS-SBK harus dijadikan muatan lokal dalam pendidikan, baik di sekolah maupun di surau, agar pemahaman yang utuh dan benar dapat diwariskan. Jangan sampai generasi penerus hanya mengenal ritualnya, tetapi buta akan filosofi dan landasan syar'inya.

3. Ketauladanan Elit Adat dan Agama: Para pemimpin di kedua lini harus menjadi contoh dalam mengamalkan prinsip ini. Setiap keputusan dan tindakan mereka akan menjadi rujukan bagi masyarakat banyak.

Globalisasi bukanlah musuh, tetapi tantangan. Identitas Koto Majidin yang kuat, yang berlandaskan adat dan syara', justru akan menjadi benteng sekaligus daya tarik di era sekarang. Dengan kembali kepada filosofi ABS-SBK, Koto Majidin tidak hanya sekadar melestarikan tradisi, tetapi sedang membangun peradaban desa yang unggul dan berkarakter.

Kita percaya, dengan komitmen bersama, Koto Majidin dapat menjadi "Desa Peradaban" yang memancarkan cahaya kearifan dan ketakwaan untuk Kecamatan Air Hangat dan Kabupaten Kerinci pada umumnya.