Oleh:
Juanda Rizki Pratama. S.IP
Fenomena pemakzulan Bupati Pati yang mencuat ke ruang publik akhir-akhir ini bukanlah isu sederhana. Peristiwa ini seakan menjadi cermin betapa rentannya demokrasi kita ketika praktik politik tidak dijalankan dengan penuh kedewasaan. Bahkan, isu tersebut berpotensi menjadi preseden buruk bagi jalannya demokrasi Indonesia, sekaligus mengancam stabilitas kepemimpinan di daerah.
Efek Latah dalam Politik Daerah
Salah satu persoalan yang muncul adalah kecenderungan “latah” dalam praktik politik. Apa yang terjadi di satu daerah, dengan cepat merembet ke daerah lain. Begitu isu pemakzulan mengemuka di Pati, gaungnya pun terdengar hingga kabupaten lain. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa mekanisme pemakzulan bisa diperlakukan bukan sebagai jalan konstitusional terakhir, melainkan sebagai instrumen politik untuk menekan kepala daerah.
Di titik ini, DPRD menjadi corong utama dalam menyampaikan isu pemakzulan. Padahal, lembaga legislatif seharusnya menjadi penjaga aspirasi rakyat, bukan sekadar saluran untuk menyuarakan kepentingan politik tertentu. Jika setiap ketidakpuasan segera bermuara pada wacana pemakzulan, maka roda pemerintahan di tingkat daerah akan terancam lumpuh.
Antara Bom Waktu dan Momentum Perbaikan
Fenomena pemakzulan ini bisa menjadi dua hal yang bertolak belakang: bom waktu atau momentum perbaikan. Sebagai bom waktu, ia berpotensi memicu instabilitas politik di berbagai daerah. Bukan tidak mungkin akan ada ratusan kepala daerah yang menghadapi ancaman pemakzulan, bukan karena kesalahan fatal yang dilakukannya, melainkan karena tarik-menarik kepentingan politik lokal.
Namun, di sisi lain, isu pemakzulan bisa memberi dampak positif jika digunakan secara benar. Ia dapat menjadi pengingat bagi kepala daerah agar tetap berjalan di rel aturan, transparan, dan akuntabel dalam menjalankan roda pemerintahan. Dengan demikian, pemakzulan seharusnya ditempatkan sebagai instrumen pengawasan, bukan sebagai alat ancaman politik.
Jangan Jadi Senjata Politik
Bahaya terbesar dari fenomena ini adalah ketika pemakzulan dijadikan senjata politik untuk menjatuhkan lawan. Masyarakat yang seharusnya menjadi pihak paling diuntungkan dari praktik demokrasi, justru akan dirugikan. Mereka hanya akan menjadi penonton dari drama politik yang dimainkan para elit.
Maka, perlu kehati-hatian luar biasa dalam menyikapi isu pemakzulan kepala daerah. Jangan sampai mekanisme ini digunakan secara serampangan. Jika tidak dikendalikan, demokrasi kita bisa tersandera oleh kepentingan politik jangka pendek, sementara kesejahteraan rakyat terabaikan.
Penutup
Kesimpulannya, pemakzulan kepala daerah memang merupakan bagian dari mekanisme demokrasi. Namun, ia harus digunakan secara bijaksana, proporsional, dan sesuai konstitusi. Apabila dijadikan alat untuk mengancam kepemimpinan daerah, demokrasi kita hanya akan menjadi ajang permainan politik sempit. Pada akhirnya, yang dirugikan bukanlah kepala daerah semata, melainkan rakyat yang seharusnya menjadi pemegang kedaulatan tertinggi.