BEKABAR.ID, KERINCI - Desakan keras kembali datang dari jantung dua desa di Kabupaten Kerinci, yakni Pulau Pandan dan Karang Pandan terhadap pelaksanaan kompensasi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kerinci Merangin Hidro (KMH).
Ketua BPD Desa Pulau Pandan, Nanang, angkat bicara menyuarakan suara masyarakat yang selama ini mendukung penuh proyek strategis nasional tersebut, namun justru merasa diabaikan hak dan aspirasinya.
Sudah lebih dari empat tahun, masyarakat menjaga kondusifitas proyek PLTA di wilayah mereka. Tidak satu pun aksi anarkis atau bentuk penghalangan terjadi. Bahkan, tak ada barang milik perusahaan yang hilang, satu batang besi pun tidak sebuah bukti konkret bahwa masyarakat dua desa mendukung penuh proyek ini secara damai dan bertanggung jawab.
Namun, seiring waktu, kekecewaan perlahan berubah menjadi luka yang dalam. “Kami merasa pihak perusahaan tidak menunjukkan itikad baik. Pendekatan yang digunakan lebih kepada individu atau kelompok tertentu, bukan musyawarah menyeluruh yang melibatkan unsur desa dan adat,” tegas Nanang.
Ia menyebut dampak PLTA kini mulai terasa nyata. “Ada ketidakadilan sosial, ganti rugi yang tidak jelas, perpecahan antar saudara, dampak lingkungan, bahkan sumber mata pencaharian kami yaitu sungai kini sudah tidak bisa diandalkan seperti dulu. Sawah-sawah pun kesulitan air. Jalan masyarakat rusak. Banyak dampak yang tak bisa lagi kami tutupi dengan kata-kata,” ucapnya.
Nanang juga mempersoalkan pernyataan Humas PT KMH, Aslori Ilham, yang menyebut bahwa kompensasi sudah dibayarkan berdasarkan hasil musyawarah. “Musyawarah yang mana? Siapa yang mengesahkan? Kapan dibuat? Apa isinya? Berapa nilainya? Kompensasi untuk apa saja? Itu semua tak pernah disampaikan secara terbuka kepada masyarakat luas,” bantah Nanang.
Lebih jauh, Nanang mengungkap bahwa kesepakatan terakhir yang ditandatangani dalam musyawarah di Gedung Serbaguna Pulau Pandan mengatur bahwa urusan kompensasi PLTA harus melibatkan empat unsur penting desa: Kepala Desa, BPD, Lembaga Adat, dan Tokoh Masyarakat/Alim Ulama. Tapi faktanya, hanya dua kepala desa yang diundang dan hadir ke PLTA Danau Kerinci.
“Ini bentuk pengkhianatan terhadap kesepakatan yang kami bangun bersama. Maka tak heran, kini muncul mosi tidak percaya terhadap para kepala desa dan lembaga adat. Apalagi mereka sendiri sudah menyatakan tak sanggup menyelesaikan masalah ini. Kalau tidak sanggup melindungi masyarakat, silakan mundur. Kami tidak butuh pemimpin yang hanya menikmati jabatan, tapi lari dari tanggung jawab,” tegasnya.
Sebelumnya Nanang juga menyampaikan harapan terakhir masyarakat kini ditujukan kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto, Yusuf Kalla, Gubernur Jambi, Bupati Kerinci, hingga para wakil rakyat di DPR RI, DPRD Provinsi, dan Kabupaten.
“Kami sudah menjaga, mendukung, dan sabar. Tapi hak kami tidak bisa terus diabaikan. Ini bukan semata soal uang. Ini tentang kehidupan anak, istri, dan cucu kami ke depan. Kalau perusahaan masih menganggap ini soal kecil, berarti mereka tak pernah benar-benar memahami makna keadilan sosial,” seru Nanang.
Masyarakat juga menegaskan agar PT KMH tidak membenturkan masyarakat dengan pihak luar. “Ini persoalan antara masyarakat dan perusahaan, bukan antara masyarakat dengan siapa pun. Jangan jadikan pihak ketiga sebagai perisai untuk menutupi masalah,” imbuhnya.
Menutup pernyataannya, Nanang menegaskan bahwa masyarakat dua desa tidak menolak proyek nasional, namun mereka hanya ingin diperlakukan adil.
“Kalau tak ada yang peduli, kami siap mempertahankan hak kami sampai titik darah penghabisan. Kami hanya ingin suara kami didengar, bukan diabaikan. Jangan hanya menerima laporan di meja yang indah, turunlah ke lapangan, lihat sendiri kebenaran yang kami alami,” pungkasnya.
Editor: Sebri Asdian