Jambi, 23 Oktober 2025 —Gelombang kritik mengalir deras menjelang pelantikan pengurus baru BEM Nusantara Jambi yang dijadwalkan digelar pada Sabtu, 25 Oktober 2025.
Alih-alih menjadi momentum regenerasi, prosesi ini justru memunculkan aroma rekayasa dan penyimpangan prosedural yang dinilai mencederai nilai demokrasi mahasiswa di tanah Jambi.
Sorotan tajam datang dari Presiden Mahasiswa Universitas Jambi (UNJA), Zaki, yang menolak keras klaim keterlibatan kampusnya.
“UNJA tidak pernah terafiliasi dengan BEM Nusantara. Secara kelembagaan kami tergabung dalam BEM SI Kerakyatan. Jadi kalau ada yang membawa nama UNJA untuk memperkuat legitimasi, itu kebohongan publik,” tegas Zaki, Kamis (23/10).
informasi yang beredar menjelaskan yang dapat menjadi kordinator daerah (KORDA) BEM Nusantara adalah Presiden Mahasiswa yang berstatus aktif dan tergabung didalam BEM NUSANTARA, sedangkan yang diklaim akan dilantik sebagai Koordinator Daerah (Korda) BEM Nusantara Jambi bukan presiden mahasiswa aktif,
Individu yang bersangkutan disebut berasal dari STIE Sakti Alam Kerinci (STIE SAK), kampus yang BEM-nya telah habis masa jabatannya.
Salah satu mahasiswa STIE SAK mengungkapkan fakta tersebut:
“BEM STIE Sakti Alam Kerinci sudah habis masa jabatannya. Tidak ada lagi presiden mahasiswa aktif"
Lebih jauh, sosok yang mengklaim diri sebagai Korda terpilih beralasan bahwa penunjukan dirinya dilakukan karena tidak ada lagi presiden mahasiswa yang bersedia.
“Kami sudah menghubungi semua presma yang tergabung di BEM Nusantara, tidak ada yang mau jadi Korda,” ujarnya.
Namun pernyataan itu segera dibantah keras oleh para beberapa presiden mahasiswa aktif di wilayah Jambi.
Di antaranya Presiden Mahasiswa STKIP Muhammadiyah Sungai Penuh, yang dan STIKES Bina Insani Sakti Sungai Penuh menyatakan tidak pernah dihubungi maupun diberi tahu mengenai pelantikan tersebut.
“Kami tidak pernah diundang, tidak dikonfirmasi, dan baru tahu ada pelantikan dari media sosial. Ini sangat tidak etis dan tidak transparan,” tegas Presma STKIP Muhammadiyah Sungai Penuh.
Lebih mengkhawatirkan lagi, muncul indikasi kuat bahwa demisioner turut campur tangan dalam penentuan figur Korda dan penyusunan kepengurusan baru. Padahal secara etika organisasi, demisioner tidak lagi memiliki kewenangan eksekutif maupun hak intervensi terhadap keputusan struktural. Semua keputusan strategis seharusnya diambil dalam forum musyawarah resmi, bukan lewat “ruang gelap” keputusan personal.
“Ini sudah keluar dari koridor organisasi. Semua keputusan harus dibangun di forum, bukan diatur oleh bayangan demisioner. Kalau benar ada intervensi, maka itu sudah masuk ranah penyalahgunaan kewenangan,” ungkap Vita aktivis mahasiswa Jambi.
Sejumlah pihak di lingkungan mahasiswa menilai, ada permainan kepentingan di balik kebijakan pelantikan ini.
Beberapa menuding bahwa proses tersebut diarahkan untuk mempertahankan kontrol politik kelompok tertentu dalam tubuh BEM Nusantara Jambi, dengan cara menyingkirkan mekanisme demokrasi internal dan melanggar asas keterwakilan kampus.
“Ketika pelantikan mahasiswa saja bisa diatur seperti ini, apa yang mau kita harapkan dari moral organisasi itu sendiri? Ini bukan lagi pelantikan ini pembajakan simbolik atas nama BEM Nusantara,” Lanjutnya.
Kritik demi kritik terus bermunculan, menuntut agar pelantikan dihentikan sementara hingga dilakukan verifikasi keabsahan struktur dan audit proses organisasi.
Langkah ini dinilai penting untuk mengembalikan marwah BEM Nusantara sebagai ruang perjuangan mahasiswa, bukan alat permainan politik individu.
“Gerakan mahasiswa bukan panggung transaksional. Kalau kepemimpinan dibentuk lewat lobi dan intervensi, maka hilanglah nurani intelektualnya, Kami mendesak ketegasan dan pernyataan sikap baik dari Kordinator Nusantara Pulau Sumatera dan Kordinator Pusat BEM Nusantara demi kebaikan Aliansi,” tutup vita .
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak panitia maupun pengurus pusat BEM Nusantara terkait kontroversi yang mencuat ini. Namun, tekanan publik mahasiswa semakin menguat agar pelantikan tersebut dibatalkan atau setidaknya ditunda sampai ada klarifikasi terbuka. (*)