Oleh:
Dr. Fauzan Khairazi, MH
Pemberantasan korupsi di Indonesia sering kali terasa seperti pertandingan antara kelinci dan kura-kura. Upaya penegakan hukum bagaikan kelinci yang gesit: penangkapan spektakuler, proses hukum yang menjadi berita utama, dan vonis yang menenggelamkan harapan para koruptor. Namun, di jalur yang paralel, pembangunan budaya integritas ibarat kura-kura yang lambat dan jarang disorot. Padahal, dalam lomba marathon memberantas korupsi, justru sang kura-kuralah—yakni integritas—yang akan memenangkan pertarungan jangka panjang.
Data Transparency International (2023) masih menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi. Ini adalah pengingat getir bahwa pendekatan represif saja tidak cukup. Kita ibarat terus memadamkan api korupsi tanpa pernah serius menutup sumber percikannya. Sudah waktunya kita melakukan pergeseran paradigma dari sekadar law enforcement menuju culture enforcement, di mana integritas menjadi fondasi setiap tindakan.
Integritas: Lebih dari Sekadar Jujur
Lalu, apa itu integritas? Ia lebih dari sekadar tidak korupsi. Integritas adalah konsistensi mutlak antara nilai yang dianut, perkataan, dan tindakan. Ia adalah kompas moral internal yang tetap menunjuk arah yang benar bahkan ketika tidak ada seorang pun yang mengawasi. Seorang pegawai berintegritas akan menolak gratifikasi bukan karena takut ketahuan, tetapi karena itu bertentangan dengan prinsip dirinya. Inilah yang membuat integritas berfungsi sebagai "sistem kekebalan tubuh" yang mencegah virus korupsi menggerogoti institusi.
Tiga Strategi Konkret Membangun Benteng Integritas
Membangun integritas bukanlah tugas yang abstrak. Setidaknya ada tiga strategi yang terbukti efektif:
1. Meritokrasi dan Transparansi sebagai Hukum Besi. Musuh terbesar integritas adalah nepotisme dan "balas budi" politik. Rekrutmen pegawai dan promosi jabatan harus berdasarkan kompetensi, bukan hubungan kekerabatan. Sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah harus sepenuhnya elektronik (e-procurement) untuk meminimalisasi interaksi dan "deal-deal" di ruang gelap. Ketika prosedurnya transparan, peluang untuk korupsi menyempit.
2. Melindungi Pahlawan tanpa Tanda Jasa: Whistleblower. Banyak kasus korupsi terungkap berkat keberanian pelapor (whistleblower). Namun, perlindungan bagi mereka masih lemah. UU Perlindungan Saksi dan Korban perlu diperkuat dengan jaminan keamanan, kerahasiaan identitas, dan bahkan insentif finansial. Tanpa perlindungan yang kredibel, tidak akan ada yang berani membongkar ketidakberesan.
3. Pendidikan Integritas yang Menyentuh Hati. Pendidikan anti-korupsi tidak bisa sekadar seminar dan ceramah. Ia harus berupa pelatihan berkelanjutan yang menyentuh level emosional melalui simulasi dilema etika. Ketika seorang pegawai merasakan langsung konflik moral dalam sebuah simulasi, nilai integritas akan lebih melekat daripada hanya mendengarkan teori.
Tantangan Terberat: Budaya dan Keteladanan Pemimpin
Strategi di atas akan mentah jika berhadapan dengan dua tantangan utama. Pertama, budaya patrimonial yang mengutamakan hubungan keluarga dan pertemanan di atas prosedur. Kedua, dan yang terpenting, keteladanan pimpinan (tone at the top). Jika seorang pemimpin instansi atau daerah justru terlibat praktik korupsi, seluruh program integritas akan menjadi lelucon. Integritas dimulai dari atas. Seorang pemimpin harus menjadi teladan hidup bahwa kejujuran bukan hanya dinasihatkan, tetapi juga dipraktikkan dan dihargai.
Kesimpulan: Integritas adalah Pilihan Hari Ini untuk Indonesia Esok
Kita tidak bisa hanya bergantung pada KPK untuk membersihkan Indonesia dari korupsi. Setiap insan di republik ini, terutama yang mengabdi di sektor publik, harus memilih untuk berintegritas. Pemerintah harus konsisten membangun sistem yang mendorong integritas, penegak hukum harus fokus pada pencegahan, dan masyarakat harus aktif mengawasi.
Pada akhirnya, integritas bukanlah konsep mewah dalam seminar. Ia adalah pilihan sehari-hari untuk jujur, adil, dan bertanggung jawab. Hanya dengan menjadikan integritas sebagai DNA bangsa, kita bisa menciptakan tata kelola yang bersih—sebuah sistem di mana korupsi bukan hanya berisiko tinggi, tetapi juga secara kultural ditolak mentah-mentah. Mari kita semua menjadi kura-kura yang ulet membawa bendera integritas hingga ke garis finish.


