70 Tahun Konferensi Asia-Afrika: Menyalakan Kembali Semangat Bandung untuk Transisi Energi Berkeadilan

70 Tahun Konferensi Asia-Afrika: Menyalakan Kembali Semangat Bandung untuk Transisi Energi Berkeadilan

Oleh:

Parlin Tua Sihaloho

Ketua Lembaga ESDM PP PMKRI

Pada April 1955, dunia menyaksikan momen bersejarah yang lahir dari semangat kolektif negara-negara Asia dan Afrika dalam menolak segala bentuk penjajahan dan dominasi global. Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung menjadi panggung solidaritas bangsa-bangsa Selatan (Global South), yang saat itu baru merdeka atau tengah memperjuangkan kemerdekaan. Dari konferensi itu lahirlah Dasasila Bandung, sepuluh prinsip yang hingga kini menjadi fondasi moral dalam membangun hubungan internasional yang damai, setara, dan berkeadilan.

 Dasasila Bandung menegaskan nilai-nilai seperti:

1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan serta asas-asas yang termaktub dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.

3. Mengakui persamaan semua ras dan persamaan semua bangsa besar maupun kecil.

4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.

5. Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif, sesuai dengan Piagam PBB.

6. Tidak menggunakan peraturan-peraturan pertahanan kolektif untuk kepentingan khusus salah satu negara besar, dan tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.

7. Tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.

8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi, atau penyelesaian hukum, atau cara-cara damai lainnya menurut pilihan para pihak sesuai dengan Piagam PBB.

9. Menggalakkan kepentingan bersama dan kerja sama.

10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

Hari ini, tujuh puluh tahun kemudian, dunia menghadapi bentuk-bentuk ketimpangan baru. Krisis iklim dan transisi energi menjadi medan perjuangan kontemporer, di mana negara-negara berkembang kembali menghadapi tantangan ketidakadilan global. Banyak proyek transisi energi justru menyisakan ketergantungan teknologi dan utang, serta meminggirkan masyarakat adat dan lokal dari proses pengambilan keputusan.

Namun, di tengah semangat Bandung yang terus relevan, Indonesia menghadapi dinamika yang sangat kompleks dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya energi dan mineral. Salah satu isu yang menyita perhatian adalah Undang-Undang Minerba (UU No. 3/2020), yang banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan, baik itu aktivis lingkungan, masyarakat sipil, maupun kelompok pekerja.

UU ini dianggap memberikan ruang yang sangat besar bagi eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal. Terlebih, UU Minerba ini juga mengatur soal perpanjangan kontrak karya yang banyak diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar asing, yang kerap dikritik karena mengarah pada ketergantungan ekonomi dan pengelolaan yang tidak berkelanjutan.

Keterkaitan antara undang-undang tersebut dan semangat Dasasila Bandung menjadi sangat jelas. Kedaulatan energi dan sumber daya alam, yang seharusnya menjadi hak setiap negara untuk dikelola demi kepentingan rakyatnya, justru terancam hilang ketika keputusan-keputusan terkait sumber daya alam lebih dipengaruhi oleh kepentingan pasar global dan investasi asing. Ketimpangan ini menciptakan jurang antara negara maju dan berkembang, serta memperburuk ketergantungan ekonomi.

Lebih lanjut, kondisi ekonomi global saat ini, yang sedang dilanda ketidakpastian akibat inflasi tinggi, perang dagang, dan krisis energi akibat ketegangan geopolitik, menambah kompleksitas situasi ini.

Negara-negara maju kini semakin berfokus pada diversifikasi energi, dengan mendukung pengembangan energi terbarukan, sementara negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih terperangkap dalam dilema: antara tetap mengandalkan energi fosil yang merusak lingkungan atau beralih ke energi hijau yang membutuhkan investasi besar dan teknologi tinggi yang belum sepenuhnya tersedia di dalam negeri.

Untuk itu, transisi energi yang berkeadilan (just energy transition) menjadi sangat penting, terutama dalam konteks global yang semakin terpolarisasi. Indonesia sebagai negara dengan potensi besar dalam energi terbarukan harus memastikan bahwa transisi ini bukan hanya berbicara tentang pengurangan emisi gas rumah kaca, tetapi juga tentang keadilan sosial dan ekonomi, di mana masyarakat lokal dan pekerja yang terdampak oleh kebijakan energi dan industri mineral tidak menjadi korban dari ketimpangan global.

Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah memastikan akses terhadap teknologi bersih, yang seharusnya bisa diproduksi dan dikembangkan di dalam negeri, dan pendanaan hijau yang tidak membebani negara-negara berkembang dengan utang yang sulit dilunasi.

Indonesia, sebagai tuan rumah Konferensi Asia-Afrika dan pemilik sumber daya energi terbarukan yang melimpah, memiliki tanggung jawab moral untuk memimpin gerakan ini. Tidak cukup hanya menjadi pasar teknologi hijau dari luar negeri—kita harus menjadi motor inovasi dan keadilan di bidang energi.

Bagi kami, sebagai generasi muda yang peduli terhadap masa depan bangsa dan planet ini, memperingati 70 tahun KAA bukan hanya mengenang sejarah, tetapi melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa. Kami percaya bahwa energi bukan sekadar komoditas, melainkan hak dasar dan instrumen untuk mewujudkan keadilan sosial, sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945.

 Maka dari itu, mari kita nyalakan kembali api Bandung dalam wajah yang baru. Mari perjuangkan transisi energi yang berpihak pada rakyat, berlandaskan prinsip-prinsip kesetaraan, solidaritas, dan kedaulatan seperti yang diwariskan dalam Dasasila Bandung. Karena hanya dengan keadilan, kita bisa menjaga perdamaian dan masa depan bersama di tengah dunia yang terus berubah.