BEKABAR.ID, TANJABBARAT - Proyek pembangunan smart greenhouse yang dikelola oleh Dinas Pertanian dan Hortikultura Kabupaten Tanjung Jabung Barat kembali menjadi sorotan publik.
Meski awalnya dianggap sebagai langkah positif untuk memajukan sektor pertanian, berbagai kejanggalan dalam pelaksanaannya mulai terungkap, menimbulkan kritik tajam dari sejumlah pihak.
Dalam keterangannya, Kepala Dinas Pertanian Reza Pahlevi menyebutkan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang sebelumnya memegang proyek telah dipindahkan. Namun, alasan jelas mengenai perpindahan tugas tersebut tak dijelaskan secara rinci, menimbulkan tanda tanya besar. Bagaimana bisa proyek sebesar ini, yang menyerap anggaran miliaran rupiah, mengalami pergantian PPK tanpa penjelasan memadai?
“Kita tidak tahu dia pindah tugas kemana,” ujar Reza, yang tampaknya tidak memberikan kepastian mengenai stabilitas kepemimpinan proyek. Kondisi ini tentu menimbulkan kekhawatiran mengenai bagaimana kelanjutan proyek tersebut, mengingat peran PPK sangat krusial dalam pengawasan dan kelancaran pelaksanaan pembangunan.
Lebih jauh, Reza juga menjelaskan bahwa proyek ini dilaksanakan oleh kontraktor, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kelompok tani justru yang mengerjakannya dengan sistem upah. Alasan keterlibatan petani adalah agar mereka "belajar dan memahami" teknis pembangunan.
Namun, pertanyaan penting yang muncul adalah: apakah petani yang selama ini berkutat dengan pembudidayaan tanaman benar-benar memiliki kemampuan untuk membangun infrastruktur seperti smart greenhouse?
“Ya, petani mengerjakannya dengan upah dari kontraktor. Tujuannya agar petani belajar,” ungkap Reza. Namun, dengan anggaran yang begitu besar mencapai Rp 475 juta per titik, apakah kebijakan ini merupakan langkah efisien atau justru upaya memotong biaya dengan melibatkan tenaga kerja murah?
Di sisi lain, tidak ada kejelasan apakah ada pelatihan atau pendampingan teknis yang cukup bagi petani untuk memastikan hasil pembangunan sesuai standar.
Kritik juga datang terkait dengan pengawasan di lapangan. Ketika ditanya mengenai jumlah tim teknis yang terlibat di setiap titik pembangunan, Reza justru tidak mengetahui angka pastinya. "Saya belum tahu berapa jumlah tim teknis di lapangan," bebernya, menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut terkait efektifitas pengawasan.
Proyek yang didanai Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2024 ini menyerap anggaran yang cukup fantastis, miliaran rupiah untuk total 12 titik pembangunan. Namun, hingga saat ini, perkembangan proyek masih dirasa minim transparansi.
Reza bahkan mengaku belum mendapatkan informasi jelas mengenai sejauh mana progres pembangunan di lapangan. Apakah proyek yang sudah menelan anggaran besar ini benar-benar berjalan sesuai target?
Lebih parah lagi, dua titik pembangunan di Desa Parit Pudin dan Kelurahan Patunas bahkan dibatalkan karena lokasi tidak sesuai, menimbulkan pertanyaan serius tentang perencanaannya.
Editor: Sebri Asdian