Oleh:
Nazli
Anak Dusun
Sungguh ironis. Di tengah kerusakan alam yang kian nyata, penertiban tambang ilegal di Tanjung Jabung Barat justru molor hanya karena dua instansi pemerintah saling berebut wewenang. Dinas ESDM dan DPMPTSP Provinsi Jambi seperti lupa bahwa alam sedang sekarat, sementara mereka sibuk berdebat soal siapa yang berhak bertindak.
Menurut pemberitaan Bekabar.id, hingga kini banyak tambang galian C di Tanjab Barat beroperasi tanpa izin lengkap. Dari 33 perusahaan, hanya 7 yang memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) sah, namun sebagian besar sudah aktif menjual material tambang. Itu berarti kejahatan lingkungan sedang berlangsung terbuka “di depan mata pejabat” tanpa sanksi nyata.
Ketika dua lembaga publik berkonflik, para penjarah alam justru tertawa lega. Mereka terus mengeruk tanah, merusak ekosistem, dan mengantongi untung, sementara aparat sibuk mengirim surat dan saling menunggu. Ini bukan hanya soal lemahnya koordinasi, tapi bukti betapa birokrasi kita gagal melindungi bumi sendiri.
Sudah cukup alasan bagi DPRD dan aparat penegak hukum untuk turun tangan. Konflik kewenangan tak boleh menjadi tameng bagi pelanggar hukum. Penegakan harus dilakukan sekarang, cabut izin, tutup lokasi tambang ilegal, dan seret pelakunya ke meja hijau. Penundaan berarti ikut serta dalam kejahatan itu sendiri.
Pemerintah Provinsi Jambi mesti segera membentuk task force gabungan yang memiliki mandat tunggal: menertibkan tambang ilegal tanpa kompromi. Semua data perusahaan harus dibuka ke publik, audit izin dilakukan terbuka, dan pelanggar wajib dihukum seberat-beratnya.
Kerusakan lingkungan bukan sekadar angka atau laporan. Ia adalah banjir yang menenggelamkan rumah, air yang tak lagi layak diminum, dan sungai yang kehilangan kehidupan. Maka setiap detik kelambanan birokrasi adalah dosa ekologis yang akan dibayar generasi mendatang.
Saatnya pemerintah berhenti berdebat dan mulai bertindak. Hukum harus tegas, birokrasi harus cepat, dan lingkungan harus diselamatkan sekarang juga.