BEKABAR.ID, KERINCI – Suara teriakan bercampur tangis terdengar di tepian Sungai Tanjung Merindu, Jumat (22/08/25). Emak-emak dengan tubuh renta, nekat menghadang excavator milik PLTA Kerinci Merangin Hidro yang hendak mengeruk aliran sungai yang selama ini menjadi nadi kehidupan mereka.
Dengan langkah gontai namun hati yang membara, para emak-emak itu berdiri di depan alat berat, meski dihadang barisan aparat yang berjaga ketat. Mereka tahu tubuh rapuh mereka mungkin tak berarti apa-apa dibanding besi-besi raksasa, tapi bagi mereka Sungai Tanjung Merindu bukan sekadar air mengalir, ia adalah kehidupan, sumber ikan, sumber rezeki, dan warisan untuk anak cucu.
Sejak kemarin, emak-emak ini sudah meminta pihak PLTA turun menemui mereka. Namun hingga aksi berlanjut hari ini, tak ada satu pun perwakilan perusahaan yang berani menyapa. Keputusasaan membuat mereka meluapkan harapan terakhir: meminta pertolongan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi hingga pengacara kondang Hotman Paris agar membela perjuangan mereka. “Kami butuh bantuan bapak, tolong kami pak, mati kami pak,” ucap salah satu emak.
Sebelumnya, mengingatkan kompensasi yang dijanjikan pihak PLTA. Dahulu, angka Rp300 juta disebut-sebut sebagai kesepakatan. Namun kini, saat pengerjaan hampir rampung, mereka hanya mendengar angka Rp5 juta per kepala keluarga, sesuatu yang bagi mereka tak sebanding dengan hilangnya sungai yang telah memberi makan berpuluh tahun lamanya.
“Nominal Rp 300 juta bukan asal-asalan, dulu kami dijanjikan, kalau hanya Rp 5 juta, apa cukup untuk mengganti sungai yang hilang? Ikan sudah tak ada, anak cucu kami mau makan apa?” ucap seorang emak.
Lebih menyayat hati, mereka menuding adanya permainan antara oknum kepala desa Pulau Pandan dan Karang Pandan dengan pihak PLTA. Mereka merasa dikhianati, karena kesepakatan dibuat diam-diam tanpa pernah melibatkan warga yang terdampak.
Sementara itu, Aslori selaku Humas PLTA belum memberikan jawaban atas konfirmasi yang dilayangkan.
Di tepian sungai, emak-emak terus bertahan, menggenggam doa dan keberanian, meski di hadapan mereka hanya ada alat berat dan tembok kekuasaan.
Editor: Sebri Asdian