Tampaknya ! hasil jajak pendapat atau survei sudah tidak lagi bisa memprediksi hasil pemilihan umum (pemilu) di Amerika Serikat (AS) saat ini. Berdasarkan hasil jajak pendapat sementara, Joe Biden masih unggul dari Donald Trump saat ini.
Hasil ini jauh dari perkiraan berbagai prediksi hasil survei dan jejak pendapat di sana yang memperkirakan Joe Biden akan menang mudah dengan keunggulan rata - rata 8 persen atas Donald Trump. Seperti contoh hasil survei yang memprediksi keunggulan Biden di Florida dan Texas yang ternyata hasilnya jauh sekali dari kenyataan.
Sejatinya, ketidak akuratan hasil jajak pendapat atau survei ini sudah terlihat dalam pemilu tahun 2016 lalu. Di mana, kala itu Hillary Clinton selalu diunggulkan dalam jejak pendapat, tapi pada akhirnya Trump yang berhasil memenangkan pemilu.
Lalu salahnya dimana ? Bukankah secara metodologis Amerika adalah maha gurunya survei dan jejak pendapat, hampir praktisi Survei di Indonesia bahkan dunia sekali pun belajar survei politiknya disana. Ditambah kenyataan hampir lembaga survei disana punya penyandang dana abadi yang tidak membuat mereka mencari-cari sumber - sumber pendanaan dari seorang calon atau konsultan yang memiliki job memenangkan kandidat. Namun ternyata hasilnya tetap jauh dari akurat.
Sebenarnya untuk menilai tingkat kesalahan yang terjadi tentunya perlu pengkajian ilmiah dengan menggunakan alat untuk mengukurnya, termasuk tingkat kesalahan apakah masih dalam batas toleransi atau tidak.
Meski analisa ini tidak spesifik tentang survei pilpres di Amerika itu, namun sebagai praktisi saya melihat ada tiga kemungkinan kesalahan yang sering terjadi dalam pelaksanaan survei.
Pertama adalah karena kesalahan pengambilan data atau ketidakhati-hatian dalam pengambilan data, kedua, karena kesalahan penghitungan data. Dan, terakhir, adanya kesulitan responden dalam memahami quesioner yang diajukan.
Pengalaman saya, kesalahan pengambilan data dan menghitung data juga adalah terkait dengan pemahaman responden terhadap masalah, seperti suasana pada waktu responden memberikan tanggapan jawaban, kemudian tingkat kerumitan kesulitan pertanyaan di quesionernya, yang mempengaruhi terhadap konsentrasi dari responden begitu.
Kembali ke Jambi dalam konteks pemilihan Gubernur, perlu kehati-hatian dalam membaca hasil survei, karena banyak faktor yang menentukan seperti tingkat validitas datanya, reabilitas terkait dengan responden, populasi renspondennya, belum lagi masalah siapa yang melakukan survei, kapan pengambilannya, bagaimana pertanyaannya, siapa yang mereka tanyakan, termasuk berapa besar sampelnya menjadi amat mempengaruhi.
Akhirnya saat ini saya mulai menyimpulkan perlu perubahan manajemen riset di lapangan termasuk teknik wawancara secara elementer untuk membuat polling politik, karena kiat di masa lalu, kurang berlaku hari ini, karena logika masyarakat pun tidak sama lagi hari ini.
Apalagi ada satu fakta bahwa menang atau kalah dalam pemilihan seperti Pilkada dipengaruhi langsung oleh kemampuan keuangan, serta sumber daya manusia untuk menempatkan orang-orang mereka di semua wilayah, untuk mengajak orang-orang dan mempengaruhi sentimen mereka, bukan semata merujuk pemetaan dari sebuah data, Wallahu alam bishawab. (*)