Setelah Debat Pilkada Tanjab Barat: Kemana Swing Voters Berlabuh?

Setelah Debat Pilkada Tanjab Barat: Kemana Swing Voters Berlabuh?

Oleh :

Ahmad Harun Yahya, M.Si

Dosen Komunikasi Politik

Kemarin, tepatnya Rabu, (25/10) kita telah menyaksikan Debat Pasangan Calon Bupati Tanjung Jabung Barat yang disiarkan oleh TVRI dan disebarluaskan melalui kanal youtube, facebook dan instagram KPU Tanjung Jabung Barat. Di Indonesia, debat politik memang merupakan tradisi baru. Pertama kali debat politik diterapkan pada tanggal 30 Juni 2004 yang merupakan siaran langsung debat kandidat pemilihan presiden pertama dalam sejarah televisi Indonesia. Kemudian setelah itu debat diselenggarakan pada tingkat Pilkada baik gubernur maupun bupati/walikota di Indonesia. Pasca Reformasi , formula debat di Indonesia menjadi salah satu alternative untuk menguji kualitas kandidat dalam menangani berbagai persoalan, juga menyampaikan program yang akan dijalankan pada saat pemerintahannya kelak.

W.L. Benoit meneliti dan mengkaji debat kampanye politik kemudian menciptakan suatu teori yaitu “functional theory of political campaign discourse” . Teori ini menyatakan bahwa warga negara memilih kandidat yang tampaknya lebih disukai berdasarkan kriteria apa pun yang paling menonjol bagi setiap pemilih. Kandidat memiliki tiga cara untuk melakukan argumentasi. Pertama, mereka mungkin memuji/pernyataan (acclaim), atau memuji diri sendiri. Kedua, kandidat dapat menyerang (attack) ,karena pemilihan adalah penilaian komparatif, serangan yang berhasil membuat lawan tampak lebih buruk bagi pemilih). Ketiga, jika diserang, lawan mungkin terlibat dalam pertahanan (defense), menyangkal tuduhan atau serangan argumentasi dari lawan (Benoit, didalam Benoit). Bagaimana dengan debat paslon bupati tanjab barat kemarin? Dan Apakah debat paslon memiiki efek electoral pada pemilih di Tanjab Barat?

Gaya Komunikasi Paslon

Setelah menyaksikan debat paslon bupati tanjab barat kemarin, penulis melihat bahwa para kandidat masih malu-malu untuk menyatakan argumentasi dengan terbuka sebagaimana teori di atas. Menurut penulis, Debat kemarin lebih mirip dengan tanya jawab dalam panggung “cerdas cermat”. Ini semua tidak terlepas dari pengaruh budaya komunikasi di Indonesia yang lebih cenderung menggunakan gaya komunikasi konteks tinggi (high context culture). Hall dalam bukunya mengatakan dari segi kultur kebudayaan, maka dapat dibagi dalam dua konteks, pertama kebudayaan konteks tinggi (high context culture) dan kebudayaan konteks rendah ( low context culture). Gaya komunikasi kebudayaan konteks tinggi ditandai dengan : pesan bersifat implicit ,puitis,tidak langsung dan tidak berterus terang. Pesan tersembunyi dalam perilaku nonverbal, misalnya: intonasi suara, gerakan tangan, gerakan tubuh,ekspresi wajah, tatapan mata atau tampilan fisik. Gaya ini umumnya di anut oleh masyarakat di dunia timur. Sedangkan gaya komunikasi kebudayaan konteks rendah ditandai dengan : eksplanatif, rinci, eksplisit (langsung/linear), gaya bicara langsung, lugas dan berterus terang. Gaya ini umumnya di anut oleh masyarakat di dunia barat. Di Indonesia, apabila dalam momen debat terdapat paslon yang bertanya dengan pertanyaan yang di anggap “menyerang” paslon lain atau pun membantah secara langsung pernyataan palson lain, maka, paslon tersebut justru akan mendapatkan cibiran publik dan dianggap tidak memiliki etika bukan sebalikya. Kondisi demikan berbanding terbalik dengan pola debat di negara-negara eropa dan barat yang cenderung lepas dan terbuka contohnya debat pilpres amerika antara Joe Bidden dan Donald Trump pada debat pilpres amerika yang lalu. . Faktor kebudayaan inilah yang menyebabkan hampir setiap momen debat pilpres maupun pilkada di Indonesia jarang sekali terjadi debat antar pasangan calon dan saling bantah pendapat, yang terjadi hanya dialog tanya jawab untuk saling memperkuat dan melengkapi argumentasi antar paslon.

Efek Debat Pilkada

Apakah debat paslon bupati tanjab barat yang digelar kemarin memiliki efek elektabilitas pada paslon? Sebelum menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu tipe-tipe pemilih di tanjung jabung barat. Pertama, yaitu pemilih rasionalis, pemilih di kategori ini mengutamakan rekam jejak dan program yang dijanjikan, sekaligus menganalisis kemungkinan program-program tersebut relevan untuk dikerjakan atau tidak.  Kedua, Pemilih transvisional yaitu pemilih yang menggantungkan harapan, kebutuhan kepentingannya untuk diakomodasi dan dapat dipenuhi, serta Ketiga, Pemilih tradisional. Pemilih ini cenderung menentukan pilihan pada kandidat beradasarkan aspek yang sangat subjektif seperti kesamaan budaya, agama, moral, norma, dan psikografis. Dan menurut penulis, berdasarkan catatan sejarah pilkada di tanjab barat, maka basis masa pemilih tradisional ini cukup banyak di Tanjung Jabung Barat.

Debat kemarin akan memberikan efek pada pemilih rasional dan terdidik dan juga memberikan efek pada pemilih transvisonal. Debat juga akan mempengaruhi pemilih yan masih ragu-ragu untuk menentukan pilihan sehingga memilih. Untuk pemilih tradsional, debat tidak terlalu memberikan efek apapun, karena tipe pemilih adalah tipe pemilih yang sangat setia. Mereka cenderung hanya akan menampilkan hal-hal positif kandidat yang didukung. Sehebat apapun penampilan paslon  lain pada debat kemarin, tak akan merubah sedikit pun prefensi pemilih tipe ini.

Efek debat paling kuat ada pada swing voters dan undecided voters. Swing voters adalah istilah untuk pemilih yang sudah ada pilihan akan tetapi pilihannya masih memungkinkan berubah. Sementara Undecided Voters merujuk pada pemilih yang belum memiliki pilihan. Bocoran hasil survey  dari beberapa Lembaga survey di tanjab barat, angka swing voters dan undecided voters voters masih cukup tinggi. Maka, dengan peta kekuatan ketiga pasangan calon bupati tanjab barat yang cukup berimbang saat ini, paslon yang berhasil merebut swing voters dan undecided voters paling banyaklah yang akan menjadi pemenang pilkada 9 Desember mendatang.