Ihwal Pengelolaan Sumber Daya Air di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh

Ihwal Pengelolaan Sumber Daya Air di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh

Oleh:

Doki Wardiman

Alumnus Magister Ilmu Lingkungan

Universitas Andalas

Sumber daya air merupakan karunia untuk kesejahteraan manusia. Air merupakan sumber kehidupan, tanpa air manusia tidak bisa hidup. Jaminan untuk mendapatkan air telah menjadi perhatian khusus dalam program pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) khususnya pada Goals 6, yakni air bersih dan sanitasi.

Berdasarkan laporan program lingkungan PBB untuk sumberdaya, hampir 1 milyar penduduk dunia, kehidupannya tergantung kepada sumber daya air yang saat ini memiliki ketidakpastian baik dalam akses maupun jaminan, terutama untuk air minum dan penggunaan air lainnya. 

Sebagai negara berkembang, sebagian besar wilayah Indonesia merupakan kawasan beriklim muson tropis basah, dengan jumlah hujan per tahun relatif tetap. Fenomena alam perubahan iklim yang dirasakan secara global memberikan dampak hujan yang bersifat tidak dapat diprediksikan (unpredictable).

Secara umum permasalahan dalam pengelolaan sumber daya air, yakni terlalu banyak air ketika hujan, sedikit air ketika kemarau, dan tingkat pencemaran yang tinggi. Hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana alam seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, serta gangguan kesehatan masyarakat. Terutama pada wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai).

Hal ini mengindikasikan bahwa fungsi hidrologi dan daya dukung sumber daya air di wilayah DAS dalam keadaan terganggu dan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga dengan keadaan tersebut DAS tidak dapat mendukung sistem sumber daya air yang optimal. Kondisi ini ditambah lagi dengan perubahan iklim dan penggunaan lahan yang memiliki dampak besar terhadap keseimbangan air. 

Upaya pengendalian untuk menjaga kelestarian sumber daya air perlu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan di masa sekarang dan masa yang akan datang. Konservasi yang tepat sasaran akan dapat menekan biaya dan mempercepat pemulihan kondisi DAS. Namun dalam project pengelolaan sumberdaya air perlu memperhatikan aspek ekologi, sosial dan Ekonomi.

Secara ekologi kegiatan pengelolaan harus mampu setidaknya mengembalikan fungsi DAS sebagai penyedia dan pengendali sumberdaya air. Secara sosial kegiatan pengelolaan sumberdaya air harus mengikuti norma-norma yang berlaku ditengah masyarakat. Sedangkan secara ekonomi kegiatan pengeloaan sumber daya air harus mampu memberikan dampak peningkatan ekonomi bagi masyarakat sekitar.

Pengelolaan sumberdaya air tidak bisa hanya dilakukan koordinasi dengan memperhatikan batas wilayah administrasi saja, karena sifat air yang mengalir dari hulu hingga hilir menyebabkan pengelolaannya pun harus mengacu kepada seberapa jauh jangkauan air tersebut. Tidak menutup kemungkinan dalam pengelolaannya melibatkan antar wilayah Kabupaten/Kota, Provinsi, maupun Negara. 

Sejalan dengan uraian diatas keberadaan sungai batang merao di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh merupakan salah satu manfaat jasa lingkungan sumberdaya air yang digunakan masyarakat sehari-hari disekitarnya, ini menjadi bukti bahwa pengelolaan sumberdaya air harus dilakukan secara terintegrasi antar wilayah administrasi.

Secara topografi sebagian daerah Kabupaten Kerinci merupakan hulu dari sungai batang merao dan Kota Sungai Penuh merupakan daerah hilirnya. Artinya setiap kegiatan yang dilakukan di dareah hulu (Kabupaten Kerinci) akan berpengaruh besar terhadap daerah hilir (Kota Sungai Penuh). Tidak sebaliknya, segala kegiatan yang dilakukan dibagian hilir tidak akan berpengaruh terhadap bagian hulu karena sifat air yang mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. 

Fenomena yang terjadi saat ini bahwa apabila terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi tinggi muka air sungai batang merao akan cepat naik, sebaliknya ketika musim kemarau tinggi muka air sungai tersebut akan cepat turun. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi sungai batang merao yang tidak sehat. Artinya perbandingan antara debit maksimum dengan debit minimum sangat jauh (koefisien regim sungai).

Sehingga hampir setiap tahun banjir datang melanda sebagian daerah Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci terutama yang berada di sekitaran sungai batang merao. Sangat banyak kerugian yang didapatkan mulai dari harta benda, gagal panen, hingga korban jiwa. 

Beberapa kegiatan restorasi sungai yang dilakukan pemerintah dalam mencoba mengurangi dampak banjir seperti melakukan pelebaran sungai dan membuat tanggul-tanggul di bibir sungai terbukti belum memberikan dampak yang signifikan. Faktanya tinggi muka air setiap tahun semakin naik, hal ini dapat dilihat di wilayah Kecamatan Hamparan Rawang sampai Kecamatan Tanah Kampung dan sekitarnya.

Hal ini menyebabkan masyarakat mengambil inisiatif untuk menimbun tanah di lahan mereka masing-masing agar terhindar dari banjir. Tentunya kegiatan ini juga akan semakin menambah biaya bagi masyarakat, selain itu tidak banyak juga masyarakat yang mulai membuat rumah baru di tanah tersebut karena rumah sebelumnya sudah tertimbun tanah. 

Upaya restorasi sungai Batang Merao oleh pemerintah belum diiringi dengan perbaikan dibagian hulu dan peningkatan sumberdaya manusia yang sadar lingkungan dan tanggap bencana. Selama ini pemerintah hanya terfokus memperbaiki fisik sungai terutama bagian hilir. Padahal secara visual dapat dilihat bahwa telah terjadi kerusakan dibagian hulu sungai seperti galian tambang ilegal, penggundulan hutan (Deforestasi), praktek pertanian yang tidak sesuai kaedah konservasi, serta tindakan pelanggaran lingkungan lainnya. 

Oleh karena itu, pemerintah perlu mencoba melakukan upaya restorasi sungai batang merao melalui pendekatan lingkungan hidup dengan memberikan nilai kepada jasa lingkungan khususnya sumberdaya air. Berdasarkan konsep ekonomi lingkungan pendekatan ini dapat dilakukan dengan valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan.

Salah satu teknik yang cukup populer untuk memberikan nilai jasa lingkungan sumberdaya air adalah Contingent Valuation Method dengan mendapatkan nilai berapa jumlah uang yang ingin dibayarkan masyarakat (willingness to pay) dan berapa jumlah uang yang ingin diterima oleh masyarakat (willingness to accept) untuk perbaikan kualitas lingkungan.

Biasanya keinginan membayar dibebankan kepada penerima dampak lingkungan (masyarakat hilir sungai) dan keinginan menerima diberikan kepada masyarakat pengelola lingkungan (masyarakat hulu sungai). Namun metode pembayaan ini bisa dilakukan dengan dibebankan kepada APBD ataupun dengan mendatangkan investor dengan konsep perdagangan karbon dan ekowisata.

Beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan dibeberapa negara didapatkan bahwa nilai ekonomi sumberdaya air berkisar antara Rp 200 – Rp 30.000 per m3 air, dan sejumlah uang tersebut digunakan dalam upaya restorasi sungai mulai dari hulu hingga hilir.. Tentunya jumlah tersebut akan sangat kecil apabila dibandingkan dengan uang yang dikeluarkan masyarakat untuk menimbun pekarangan rumahnya agar terhindar dari banjir.