Soroti Perundungan, HMKS SUMBAR Desak Pemkab Kerinci Ambil Langkah Tegas

Soroti Perundungan, HMKS SUMBAR Desak Pemkab Kerinci Ambil Langkah Tegas

BEKABAR.ID  KERINCI -Himpunan Mahasiswa Kerinci Sungai Penuh - Sumatera Barat (HMKS SUMBAR) angkat bicara soal kejadian perundungan yang terjadi di kalangan pelajar di Kabupaten Kerinci, tepatnya kasus yang menimpa salah seorang siswi di salah satu sekolah menengah pertama (SMP) Negeri yang menjadi viral dan dibicarakan berbagai kalangan.

Menyoroti kasus ini, HMKS SUMBAR kemudian melakukan kajian dan melahirkan beberapa poin terkait kasus yang tengah ramai dibicarakan tersebut.

Ketua umum HMKS SUMBAR, Ikhwanul Ihza mengatakan bahwa sejak awal kasus ini muncul ke permukaan, HMKS SUMBAR langsung merespon dengan mencari data dan informasi yang akurat, kemudian membuat kajian dan berharap nanti akan menemukan solusi yang akan menjadi rekomendasi kepada pihak berwenang.

"Kami sedang menggali informasi terkait kejadian ini, beberapa sudah kami terima, sudah bikin kajian juga, kami akan rilis secepatnya."

Ia juga mengatakan bahwa perlu peran dari semua orang untuk memberikan literasi tentang bahaya perilaku bullying kepada masyarakat, khususnya para pelajar.

"Dan juga ini menjadi pelajaran sekaligus pengingat bagi kita tentang pentingnya memberikan pemahaman bahayanya perilaku bullying. Insyaallah HMKS SUMBAR akan turun langsung ke sekolah - sekolah yang ada di Kabupaten Kerinci untuk turut mensosialisasikan bahayanya perilaku bullying ini."

Berikut Sikap HMKS SUMBAR Terkait Kasus Perundungan Yang Terjadi di Kabupaten Kerinci.

"Manusia adalah makhluk yang haus akan ilmu, menempuh pendidikan adalah rangkaian proses dalam menuntut ilmu. Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan itu ialah memerdekakan manusia yaitu manusia yang selamat raganya dan bahagia jiwanya. Konsep pendidikan seperti inilah yang masih belum mampu diwujudkan oleh sekolah di Indonesia. Banyaknya kasus yang mempersulit merdekanya jiwa dan raga seseorang membuat merdeka hanya seakan utopis. Contohnya adalah kasus pembulian yang terjadi di salah satu SMPN di Kayu Aro.

Korban, satu dari banyaknya pemimpi yang berjuang dalam menempuh pendidikan harus terjajah jiwa dan raganya. Diketahui bahwa seorang siswi menjadi korban pembulian oleh rekan sebayanya. Sekolah yang harusnya menjadi tempat teraman bagi seseorang untuk belajar guna menggapai masa depan harus ternodai oleh beberapa oknum pelaku kekerasan. Guru sebagai pendidik professional telah gagal dengan tugas utama sebagai pendidik, pengajar dan pembimbing sebagaiamana yang dimaksudkan didalam UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Pihak sekolah sebagai mediator menggunakan metode Restorative Justice dalam penyelsaian konflik ini sebagaimana bunyi pasal 5 Undang-Undang No 11 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Hasil dari Restorative Justice berupa mediasi pada kasus kali ini masih dirasa kurang tepat, karena adanya intervensi dalam pengambilan keputusan oleh pihak sekolah. Guru sebagai Aparatur Sipil Negara yang memiliki fungsi dan tanggung jawab untuk ikut serta memenuhi janji konstitusi, sebagaimana yang tertera dalam UUD 1945 yang berbunyi “ Negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi “. Sangat disesali ketika guru yang harusnya menjadi mediator dalam penyelsaian masalah ini, malah mengintervensi korban.

Hasil dari mediasi yang membuahkan 6 poin penyelsaian ini, masih dirasa banyak terdapat ketimpangan. Korban yang seharusnya mendapatkan rehabilitasi medis dan psikososial sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 10 ayat (2) poin 2 UU SPPA malah seakan didiskriminasi dengan dipindah sekolahkan. Poin 6 dari hasil mediasi ini membuat sekolah seakan lepas tanggung jawab terhadap pemulihan korban. Pelaku yang seharusnya dikenakan sanksi keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan dan pelayanan masyarakat, sampai saat ini masih belum dikenakan sanksi.

Mediasi sebagai bentuk diversi dari UU SPPA yang bertujuan untuk menghindarkan dari terampasnya kemerdekaan pelaku malah di intervensi karena dihilangkannya sanksi terhadap pelaku. Sangat disayangkan diversi yang ditujukan untuk penyelesaian masalah diluar peradilan tidak diterapkan sebagaimana dengan prosedur yang berlaku. Hal inilah yang kemudian memunculkan banyak opini liar dari masyarakat. 

Sekolah sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab dalam permasalahan ini harusnya terbuka terhadap keadaan yang sebenarnya, bukan malah lari dari tanggung jawab dengan memindahkan korban. Guna menhindari opini liar dari masyarakat, pihak yang menjadi mediator haruslah terbuka dan mempertegas kenetralannya terhadap penyelesaian masalah ini. Penjatuhan sanksi terhadap pelaku juga harus dijalankan, kemudian hak korban juga haruslah untuk dipenuhi.

Kekerasan dan penindasan di sekolah dapat menimbulkan sejumlah dampak jangka pendek dan panjang pada korban, baik pada aspek akademik, kesehatan, kesehatan mental, masalah interpersonal, perilaku, maupun psikososial. Maka dari itu marilah seluruh elemen masyarakat untuk mengamini untuk menolak adanya kekerasan di sekolah.

Sikap pemerintah daerah hinngga saat ini yang memilih bungkam terhadap penyelsaian kasus ini bahkan terkesan buta terhadap fakta dan bukti yang ada. Maka dari itu KAMI HMKS SUMBAR MERASA KECEWA TERHADAP SIKAP KURANG TEGAS YANG DIAMBIL OLEH PEMERINTAH DAERAH dan DINAS YANG TERKAIT. (*)