Penerbitan Perppu Cipta Kerja, Kebutuhan Mendesak namun Inkonstitusional?

Penerbitan Perppu Cipta Kerja, Kebutuhan Mendesak namun Inkonstitusional?

BEKABAR.ID, JAMBI - Pemerintah Pusat telah menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 pada Jumat (30/12/2022). Penerbitan Perppu dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik, terutama saat ini sedang terjadi Konflik antara Rusia-Ukraina, ancaman Resesi Global, dan ancaman Stagflasi.

Beliau juga mengungkapkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait Undang-Undang Cipta Kerja sangat memengaruhi perilaku dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri. Di sisi lain, pemerintah terus berupaya untuk menjaring investasi sebagai salah satu kunci pertumbuhan ekonomi.  Oleh karena itu, keberadaan Perppu ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, termasuk bagi pelaku usaha. 

Menanggapi hal ini, Syrillus Krisdianto selaku Presidium Gerak Kemasyarakatan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Jambi sangat menyayangkan langkah yang diambil oleh pemerintah pusat mengenai kebijakan tentang Cipta Kerja. seharusnya Pemerintah merevisi Undang-Undang Cipta Kerja yang sudah dinyatakan "Inkonstitusional Bersyarat" oleh MK karena Kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif itu ada supaya saling melengkapi. Jika langkah yang diambil pemerintah seperti ini, konsekuensinya adalah publik berasumsi bahwa pemerintah menjalankan pemerintahan secara inkonstitusional, ada baiknya pemerintah membuat kebijakan dengan kebijaksanaan, karena hal ini mencakup kehidupan masyarakat luas.

Tentu kita penasaran pasal apa saja yang menjadi polemik di masyarakat, berikut ini beberapa pasal yang dikritisi oleh beberapa pihak :

1. Pasal 64 Tentang Pekerja Alih Daya

Pasal yang mengatur tentang tenaga kerja alih daya atau outsourcing ini kembali dihidupkan dalam Perppu Cipta Kerja dengan perubahan. Pasal ini berasal dari UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 yang kemudian dihapus dalam UU Cipta Kerja tahun 2020. 

Pasal ini dikritisi oleh Ketua Umum Apindo, Hariyandi B Sukamdani. Beliau berasumsi bahwa pasal ini tidak tepat, karena Indonesia membutuhkan lapangan kerja yang banyak. Jika koridor-koridor ini dipersempit, kita tidak punya alternatif yang cukup untuk memperluas lapangan kerja.

2. Pasal 88C Tentang Penetapan Upah Minimum

Di dalam Perppu Cipta kerja, terdapat frasa “dengan syarat tertentu“ yang dihapus di akhir kalimat ayat dua. Kemudian penjelasan berikutnya gubernur dapat menetapkan upah minimum di tingkat kabupaten dan kota itu kalau jumlahnya lebih besar dari upah minimum provinsi.

Hal ini dikritisi oleh Ahli Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati. Beliau Mengungkapkan bahwa tidak ada yang terlalu signifikan dalam perubahan ini, melainkan perubahan klausul ini tidak diikuti dengan penjelasan, konsekuensinya adalah tidak ada justifikasi mengenai hal tersebut. 

3. Pasal 88D Tentang Upah Minimum

Pengaturan upah minimum buruh dalam lima tahun terakhir ini menggunakan variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi, termasuk diatur dalam UU Cipta Kerja. 

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Said Iqbal mengungkapkan variabel "indeks tertentu" menimbulkan ketidakpastian. Beliau berasumsi bahwa Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, dan Indeks Tertentu ini apakah ada pengurangan, penambahan , pengalih atau pembagi, sehingga karena hal tersebut beliau mengatakan formulanya tidak jelas sehingga menimbulkan ketidakpastian.

Lalu, Perppu Cipta Kerja kembali akan dibahas dalam sidang paripurna DPR RI pada hari Selasa (14/03/2023). Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi menguatkan hal itu karena pembahasan Perppu tersebut belum selesai sehingga akan dibahas setelah masa reses dari 17 Februari sampai 13 Maret 2023. (*)