Peran Jaksa Dalam Pemberantasan Mafia Tanah : Penegak Hukum di Garis Depan Melawan Kejahatan Agraria

Peran Jaksa Dalam Pemberantasan Mafia Tanah : Penegak Hukum di Garis Depan Melawan Kejahatan Agraria

Oleh :

Pujha Setiawan .J, S.H.,M.Kn

(ASN Kejaksaan RI)

Tanah di Indonesia bukan sekadar aset ekonomi, melainkan juga simbol keadilan sosial, identitas bangsa, dan sumber utama kesejahteraan rakyat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, marak muncul jaringan mafia tanah yang menimbulkan keresahan dan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat. Mereka beroperasi secara sistematis dan terorganisasi memalsukan dokumen, menyuap oknum pejabat, memanipulasi data sertifikat, hingga merebut hak atas tanah milik masyarakat kecil.

Dalam situasi inilah, Kejaksaan tampil sebagai garda terdepan penegakan hukum, melalui peran jaksa yang tidak hanya menuntut pelaku, tetapi juga berupaya memulihkan keadilan agraria dan memastikan negara hadir melindungi hak rakyat atas tanahnya.

Peran kejaksaan dalam pemberantasan mafia tanah berlandaskan kuat pada beberapa regulasi utama seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang memberi kewenangan kejaksaan untuk melakukan penegakan hukum di Bidang Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara (TUN).

Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan Pemberantasan Mafia Tanah, yang mengamanatkan pembentukan Satgas Anti Mafia Tanah di bawah koordinasi Kementerian ATR/BPN bersama Kejaksaan dan Kepolisian dan Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, yang menegaskan fungsi Bidang Intelijen dalam deteksi dini serta Bidang Pidana Khusus dan Datun dalam penegakan hukum dan penyelamatan aset negara.

Menurut data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), sepanjang tahun 2023-2024 tercatat lebih dari 2.300 kasus sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebagian besar terkait dengan praktik mafia tanah. Kasus-kasus itu tersebar di berbagai wilayah seperti Jawa Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Jambi, dengan pola kejahatan yang meliputi pemalsuan dokumen, penguasaan tanah tanpa hak, hingga penyalahgunaan kewenangan pejabat publik.

Kejaksaan di berbagai daerah mencatat capaian signifikan dalam upaya pemberantasan mafia tanah ini. Misalnya, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat berhasil menindak jaringan pemalsuan sertifikat tanah di Bogor, dengan nilai kerugian negara mencapai miliaran rupiah.

Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara berhasil menyelamatkan lebih dari 60 hektare aset negara yang sebelumnya dikuasai secara ilegal oleh pihak swasta. Sementara itu, di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Jambi, tercatat sebanyak 46 kasus mafia tanah telah diproses sepanjang tahun 2024, dengan potensi kerugian negara dan masyarakat mencapai Rp2,75 triliun.

Capaian ini tidak hanya menunjukkan keseriusan Kejati Jambi dalam menegakkan hukum, tetapi juga menjadi bukti konkret kehadiran negara dalam melindungi hak-hak masyarakat atas tanah. Secara nasional, Kejaksaan Agung RI melalui Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) juga mencatat capaian besar. Dalam kurun waktu 2022–2024, Kejaksaan berhasil menyelamatkan dan memulihkan aset negara senilai lebih dari Rp5,8 triliun, baik melalui litigasi maupun penyelesaian non-litigasi.

Hingga pertengahan 2025, Kejaksaan terus memperkuat sinergi dengan Satuan Tugas (Satgas) Anti Mafia Tanah, memperluas penggunaan teknologi informasi dan basis data digital, serta menegakkan prinsip integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap proses Penanganan Perkara.

Sebagai pelaksana kekuasaan negara di bidang penegakan hukum, Kejaksaan memiliki peran strategis dalam memerangi praktik mafia tanah. Kejaksaan menjalankan perannya dalam pemberantasan mafia tanah melalui tiga bidang utama.

Pertama, melalui fungsi Intelijen yustisial Kejaksaan dengan melakukan deteksi dini, pemetaan wilayah rawan dan melakukan pengumpulan data, analisis, serta koordinasi lintas sektor bersama Kementerian ATR/BPN, Kepolisian, dan pemerintah daerah.

Kedua, Tindak Pidana Khusus (Pidsus) dengan menindak para pelaku pemalsuan dokumen, gratifikasi, atau korupsi dalam penerbitan hak atas tanah. Ketiga, Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) dengan melalui Jaksa Pengacara Negara (JPN), kejaksaan mewakili Negara dalam memulihkan hak atas aset milik pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dikuasai pihak swasta secara melawan hukum.

Pemberantasan mafia tanah bukan perkara mudah. Tantangan utama adalah jaringan pelaku yang terorganisir dan melibatkan oknum aparatur, baik dari pemerintahan maupun lembaga hukum. Selain itu, tumpang tindih regulasi pertanahan, lemahnya validasi dokumen lama, dan minimnya kesadaran hukum masyarakat membuat upaya penegakan hukum kerap menghadapi hambatan. Jaksa di lapangan juga dihadapkan pada ancaman dan tekanan politik ketika menangani kasus yang menyentuh kepentingan ekonomi besar. Namun demikian, integritas dan keteguhan jaksa menjadi kunci agar keadilan tidak tunduk pada kekuasaan.

Jaksa Agung ST Burhanuddin pada saat Rapat Kerja Kejaksaan 2024 menegaskan bahwa pemberantasan mafia tanah harus dilakukan melalui pendekatan hukum yang progresif, kolaboratif, dan berkeadilan sosial. Menurutnya, jaksa tidak boleh hanya dipandang sebagai penuntut, tetapi juga penjaga kepentingan rakyat dan pelindung aset negara. Solusi jangka panjang memerlukan sinergi antara Kejaksaan, Kementerian ATR/BPN, Kepolisian RI, dan Pemerintah Daerah, serta digitalisasi data pertanahan agar transparan dan akuntabel. Edukasi hukum kepada masyarakat pun penting untuk mencegah mereka menjadi korban berikutnya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemberantasan mafia tanah merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam melindungi hak konstitusional rakyat atas tanah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan semangat reforma agraria nasional. Kejaksaan, sebagai penjaga keadilan dan representasi negara dalam penegakan hukum, memiliki peran strategis di garis depan melalui fungsi intelijen yang melakukan deteksi dini, fungsi penuntutan yang menindak tegas pelaku kejahatan agraria, serta fungsi perdata dan tata usaha negara (Datun) yang memastikan aset negara dan hak rakyat dikembalikan kepada yang berhak.

Perang melawan mafia tanah tidak dapat dimenangkan oleh Kejaksaan semata. Diperlukan kolaborasi lintas sektor antara Kejaksaan, Kementerian ATR/BPN, Kepolisian,Pemerintah Daerah, dan Masyarakat itu sendiri disertai digitalisasi sistem pertanahan untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas.

Selain itu, Pendidikan dan Penyuluhan hukum kepada masyarakat juga menjadi elemen penting agar rakyat memahami haknya dan berani melapor ketika menjadi korban kepada Penegak Hukum atau Satuan Tugas Mafia Tanah. Dengan dukungan kebijakan yang konsisten, teknologi yang terintegrasi, dan integritas aparat penegak hukum yang tidak tergoyahkan, Indonesia dapat bergerak menuju sistem agraria yang bersih, adil, dan berpihak pada rakyat kecil sehingga tanah kembali menjadi sumber kesejahteraan, bukan sumber sengketa.