BEKABAR.ID, JAMBI - Sidang kasus korupsi pengadaan penerangan jalan umum (PJU) di Kabupaten Kerinci memasuki babak baru yang lebih berisik.
Di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jambi, Senin siang (1/12/2025), atmosfer berubah panas ketika empat terdakwa, Helpi Apriadi, Reki Eka Fictoni, Yuses Alkadira dan Heri Cipta membacakan eksepsi. Bukan sekadar keberatan, tetapi tudingan yang menyerempet langsung ke jantung gedung DPRD Kerinci.
Melalui kuasa hukumnya, Heri Cipta Kepala Dinas Perhubungan yang menjadi salah satu tokoh sentral perkara ini mengajukan pertanyaan yang menggema di ruang sidang, mengapa para legislator yang disebut ikut menentukan arah proyek justru tak tersentuh status tersangka?
Menurut kuasa hukum, jejak awal proyek justru bermula dari ruang rapat anggaran DPRD. Di sanalah, kata dia, besaran proyek, daftar rekanan, hingga nilai fee disepakati. Heri Cipta mengklaim sekadar mengusulkan anggaran moderat sekitar Rp400 juta. “Tapi angka itu membengkak menjadi Rp3,45 miliar setelah dibahas di DPRD, tanpa satu pun revisi dari Dishub,” ucapnya, seolah menegaskan bahwa kendali proyek tidak berada di tangannya.
“Mereka yang mengatur paket proyek, tapi penyidik tidak menetapkan satu pun anggota DPRD sebagai tersangka,” kata kuasa hukum Heri, memecah suasana hening.
Ucapan itu membuat beberapa kepala di ruang sidang saling menoleh, seakan mencari ulang benang kusut yang selama ini ditutupi kabut.
Sidang akan dilanjutkan pada 8 Desember 2025 dengan agenda pemeriksaan saksi, tahap yang diperkirakan membuka lebih banyak simpul-simpul persoalan.
Asal tahu saja, perkara ini sendiri menyeret sepuluh orang, dari pejabat pemerintah hingga direktur perusahaan lokal. Mereka dijerat pasal berlapis, yakni Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Nama-nama itu terdiri dari Heri Cipta dan Nael Edwin dari Dishub, para direktur rekanan seperti Fahmi, Amril Nurman, Sarpano Markis, Gunawan, hingga Jefron, serta ASN dan PPPK seperti Reki, Helpi dan Yuses yang disebut berperan dalam proses pengadaan.
Dalam dakwaan JPU, rangkaian korupsi itu berawal dari proyek PJU dengan pagu Rp5,96 miliar dari APBD murni dan tambahan Rp2,51 miliar dari anggaran perubahan. Alih-alih dilelang terbuka, paket pekerjaan malah dipecah menjadi 41 bagian lalu ditunjuk langsung cara lama yang kerap menjadi pintu rasionalisasi korupsi.
BPKP menemukan kerugian negara Rp2,7 miliar akibat barang yang tak sesuai spesifikasi. Jejak proyek yang retak, anggaran yang melonjak, dan keputusan yang nyasar di meja rapat legislatif kini mengalir kembali ke ruang tipikor. Masih tersisa satu pertanyaan yang menggantung, siapa sebenarnya yang mengendalikan proyek PJU ini?
Editor: Sebri Asdian

